Friday, February 23, 2024

What are You Looking for?

Photo by Gül Işık

Satu bulan yang lalu, aku benar-benar struggle dengan diriku sendiri. Aku malas pergi bekerja, malas bertemu dengan anak-anak, malas berinteraksi dengan orang-orang, maunya ya diam sendiri di kosan. Malas makan, malas mengurus diri, ruangan hampir seperti kapal pecah, maunya tidur seharian. Aku kira perasaan-perasaan malas ini karena aku akan haid tapi sepertinya bukan. Emosiku tak karuan, mood swing. Di sekolah tertawa terbahak-bahak tapi setelah itu aku akan daydream sendirian. Pulang-pulang sampai di kosan bengong, bahkan yang paling parah adalah aku malas salat dan mengaji. Begitu malam datang, perasaan aku berubah. Aku ingin menangis tapi aku bingung apa yang harus aku tangisi. Ingin berteriak tapi takut menganggu tetangga. Ingin marah tapi aku juga bingung hal apa yang sebenarnya membuat aku marah. Selama hampir dua minggu berturut-turut perasaan aku kacau. Dua orang temanku yang menyadari ada sesuatu yang tak beres dengan diriku mulai menanyai perasaanku secara perlahan. 

"Kamu apa kabar? Sehat?"

Pertanyaan yang dilontarkan oleh temanku entah mengapa terdengar sangat menusuk. 

"Alhamdulillah baik." Jawabku bohong dan menghindar tatapan matanya. 

"Oh baik ya," timpalnya lagi membuat aku membuang nafas kesal. Aku tahu dia menyadari sesuatu atas diriku. 

"Tapi akhir-akhir ini kok keliatannya murung," sambungnya lagi membuatku kesal.

"Enggak kok, aku baik-baik aja." Jawabku agak meninggi sambil memalingkan muka dari wajahnya. Sungguh aku benci saat orang lain mulai peduli dengan diriku. Buat apa peduli? Cuma pengen tahu keadaanku aja kan? Habis itu kalian gak benar-benar peduli tentang aku?!

Fikiranku saat itu berkecamuk. Rasanya sulit untuk bisa percaya pada orang lain. Alih-alih percaya kepada orang lain, aku pun mulai kehilangan kepercayaan pada diriku sendiri. Sulit bagi aku untuk bisa jujur atas perasaanku sendiri. Aku mulai denial dengan perasaan apapun yang datang. Dan saat itu aku memilih untuk menutup hati dan membiarkan perasaan-perasaan aneh yang menyusup itu menggedor-gedor pintu hatiku. 

Semakin aku menguncinya rapat, semakin aku denial dengan perasaan yang hadir, dan aku malah lari dari hal yang seharusnya aku hadapi dan aku terima akhirnya aku kewalahan sendiri. Topeng yang selama ini aku gunakan rupanya sudah tidak bisa lagi menutupi dengan baik. Tawaku sudah semakin terdengar mengerikan di telinga orang-orang yang bisa mendengarkan. Senyumku terlihat menyedihkan di mata orang-orang yang benar-benar bisa melihat. Ceritaku sudah seperti kaset butut yang tak lagi bisa disimak dengan baik. 

Hari itu aku ingin menyerah, rasanya aku ingin tidur selamanya.

Namun pertolongan Allah datang melalui permasalahan yang menimpa anak didikku. Niat awal aku bertemu dengan psikolog sekolah adalah aku hanya ingin meminta bantuan untuk menghadapi anak didikku ini. Alih-alih membahas anak didikku sendiri rupanya tanpa sadar aku membuka pembicaraan mengenai diriku sendiri.

Tangisku tumpah, dadaku sesak, dan aku menangis kesakitan. Perasaan-perasaan yang selama ini aku tahan dan dibiarkan menggedor-gedor di depan pintu hati akhirnya meledak dengan sendirinya. Fikiran-fikiran hitam dan chaos kembali memenuhi isi kepala.  

Aku sudah ditahap frustasi rupanya. 

Rasa sakit atas pengabaian di masa kecil, penolakan, jarang diapresiasi dan dihargai, selalu mendahului kepentingan orang lain, teriakan yang memilukan, bullying verbal, disalahkan, dikambing hitamkan, ditinggalkan, dihakimi. 

Semuanya kembali bermain dalam satu waktu dan pada saat keadaan sekarang ini justru memperlakukanku dengan baik, ada perasaan haus untuk mendapatkan apa yang selama ini belum pernah aku dapatkan dan perasaan ragu serta curiga, apakah mereka tulus? Atau mereka hanya berpura-pura? 

Setelah sesi konseling itu, perlahan aku mulai belajar memaafkan diriku seutuhnya. Mungkin aku sudah memaafkan orang lain, tapi ternyata aku belum memaafkan diriku sendiri. Aku belum memeluk sosok kecil dalam diriku yang selama ini selalu hadir, belum menyampaikan bahwa kamu tak usah menyalahkan dirimu sendiri atas hal yang terjadi di masa lalu. Orang tua sudah meminta maaf bukan? Dan kamu sudah tak membenci mereka bukan? Apalagi mereka memperlakukanmu dengan baik pada saat ini. Di saat usia mereka sudah senja, di saat waktu kita dengan mereka sudah tak lagi banyak. 

Aku kira proses memaafkan diri sendiri dan menerima hal yang pernah terjadi itu mudah ya, ternyata tidak. Aku memulai proses memaafkan diriku sendiri dengan kembali menulis di buku harian. Sungguh, perasaan itu sesak saat diketuk bahkan aku sendiri tak bisa memaksa diri aku sendiri untuk bercerita. Semakin digali semakin sakit. Pada saat itu aku menghubungi psikolog sekolah melalui pesan pribadi. Beliau bilang tak usah dipaksa, ajak ngobrolnya senyamannya. 

Lalu aku berfikir, buat apa terburu-buru untuk menyembuhkannya? Buat apa? Bukankah rasa sakit juga harus dirasakan dan diterima ya? Jangan ditolak?

Sampai suatu hari, temanku berkata seperti ini melalui pesan pribadi.


Kamu kemarin parah banget sih. Harusnya kalau mau nangis ya nangis aja. 

Kayak pengen bilang, ayo dong nangis. Gak apa-apa terlihat lemah juga.


Deg!

Sejenak aku membiarkan pesan itu terbuka, perlahan rasa kesal dan marah muncul dalam hati. 

Ngapain sih ni orang? Dia kan gak tahu apa-apa soal aku? Kenapa dia jadi sok tahu?


Jujur, aku marah. Aku marah sekali. Kenapa? Karena aku merasa dia sudah berhasil menghancurkan benteng pertahananku dan memporak-porandakan isi hatiku. Aku menangis pada saat itu. Alih-alih bersyukur karena rupanya ada orang yang peduli, ini malah marah dan tidak terima. 

Aku membalas pesan-pesannya itu dengan emot tertawa, atau sekedar hahahahah, wkwkwk padahal sungguh hatiku sudah ketar-ketir. Seolah dia mengetahui tempat persembunyianku selama ini. Butuh waktu untuk bisa menerima bahwa aku itu bukan robot, aku tuh manusia. Jadi kalau terlihat sedih, lemah, gak bisa, ya gak apa-apa. 


Yaahh maybe this is my turn to heal myself. Karena buat sembuhin diri sendiri kan tanggung jawab diri sendiri. Aku gak mau nanti malah jadi beban buat orang lain. Bersyukur masih dikasih kesempatan buat sembuhin diri sendiri dan bertemu orang-orang baik dan juga support. 

Kataku kemudian pada akhirnya.


Tapi gak bisa sih kalau sendiri. 

Aku jamin.

Nanti ada aja orang yang bantu.

Magical emang.

Banyak orang yang datang dan pergi dalam prosesnya.


Ok, wait and see ya. 


Jawabku pendek dengan perasaan tidak percaya. Padahal kalau difikir-fikir dengan kehadiran psikolog di sekolah saja itu sudah sangat membantuku. Bukankah pada saat aku datang aku tidak berniat untuk menceritakan soal pribadiku?

Tak lama pesan dari orang tua datang yang tak biasanya menanyaiku tentang aktifitasku yang membuat hatiku senang sekali. Kemudian tiba-tiba ada kegiatan mengenai mental health yang diisi oleh psikolog sekolah dan pada saat itu beliau bilang you don't have to be a superman. Kamu manusia kan bukan robot?

Aku terdiam, teringat pesanmu beberapa hari lalu. Ini bukan suatu kebetulan bukan? Seperti yang kamu bilang bahwa pada saat prosesnya aku akan menemui people come and go? Mungkin kamu juga adalah salah satunya.

Kemudian ketika kegiatan city mapping bersama anak-anak, beberapa tempat yang dikunjungi seolah memberiku sebuah nasihat. Di tempat pertama, si Bapaknya bilang ya namanya hidup pasti ada ujiannya, ada susahnya. Mau di manapun itu. Kemudian di tempat makan, aku lupa dengan tulisannya yang terpampang tapi jelas itu sedikit menamparku. 

Lalu selang beberapa hari pada saat discuss materi tentang slow and fast, ada satu sesi di mana tutorku bilang gini, slow makes you focus on what you do.

Aku terdiam kembali dan merasa tertampar. Buat apa do the things on the double? Mau ngejar apa? Biar sama kayak orang-orang dan dipandang berhasil? Terus kalau misal posisi kamu saat ini masih di angka satu dan orang lain sudah di angka lima kamu akan marah sama diri kamu sendiri? Bukankah sudah cukup ya luka lama saja masih belum terobati? 

Why don't you walk at a snail's pace? Bukankah kalau kamu pengen menuju 5 kamu harus melewati angka 2,3 dan 4 dari garis kamu yang saat ini masih ada di angka 1? Bukankah setiap orang itu berbeda ya garis mulainya? Kenapa harus membandingkan dengan kehidupan orang lain lalu kembali menyalahkan dirimu sendiri saat kamu merasa gagal?

Kalau aku masih lelah, terus membandingkan dengan kehidupan orang lain dan masih belum bisa menerima hal yang pernah terjadi, sepertinya aku harus mengecek kembali peta hidupku. 

Jadi sebenarnya apa yang kamu cari selama ini? Dunia atau akhirat? Pengakuan manusia atau pengakuan Allah? Ridanya manusia atau ridanya Allah?


Dengan segala penuh keresahan,
Ihat



Share:

Saturday, February 17, 2024

Yang Kita Lewati tanpa Disadari

Photo by veeterzy

Siang tadi aku memutuskan untuk keluar sejenak mencari udara segar bersama temanku sekalian pergi untuk nugas juga. Begitu di perjalanan rupanya hujan mengguyur tanpa permisi. Aku dan temanku menepi di pom bensin sekalian mengisi bensin juga. Sambil menunggu, sambil mengenakan jas hujan pandanganku terhenti pada sosok Ibu-ibu yang sudah paruh baya sedang menjajakan jualannya. Hatiku terenyuh melihatnya, buliran bening itu sudah mengumpul di pelupuk mata, aku teringat Ibuku di tahun-tahun sebelumnya. Ibuku menjual makanan gorengan dan juga makanan basah tradisional sambil berjalan kaki berkeliling dan mengunjungi rumah-rumah di pagi hari atau di siang hari.  Hingga akhirnya kini bisa berjualan dengan menggunakan roda bersama Bapak, tak perlu berjalan lagi mengunjungi rumah-rumah sambil membawa box dagangan yang terasa berat saat diangkat. Sebelum meninggalkan pom bensin itu, aku melirik sebentar pada si Ibu tersebut sambil berucap dalam hati, semoga dagangannya laris manis dan Ibu tersebut diberikan kesehatan.

Tak cukup sampai di sana, begitu aku dan temanku sampai di caffe tempat tujuan kami, di belakang meja tempat kami duduk datanglah satu keluarga. Ada kakek, seorang Bapak, Ibu kemudian anak-anaknya dan entah siapa lagi. Saat aku melewati mereka untuk mengisi air minum, aku melihat Kakek itu hanya banyak diam. Sementara si bapak malah asyik bermain gadgetnya sepertinya sedang menonton video random di TikTok, lalu anak yang lainnya asyik berbincang bahkan ada juga yang bermain games. Kakek itu terlihat kesepian. Matanya menatap kosong. Sejenak perasaanku menghangat, aku jadi ingat almarhum Kakek ku. Almarhum Kakek yang diusir dari rumahnya sendiri oleh anak-anaknya, lalu tinggal bersama kami satu rumah sebelum akhirnya pergi untuk selama-lamanya. Almarhum Kakek yang selalu bertanya kapan aku pulang, ketika aku masih kerja di Pesantren. Almarhum Kakek yang kadang selalu aku ajak ngobrol dan pertanyaan bodoh yang selalu aku selali sampai saat ini adalah,

"Ki, aki kangen enggak sama Nenek?"  tanyaku terlontar begitu saja dari mulutku. Yang kemudian membuat raut wajah Kakekku  menjadi sendu. Mamah yang saat itu mendengarkan langsung melotot ke arahku. Lalu tak lama Kakekku menjawab,

"Iya atuh, kangen." Jawabnya dengan tatapan kosong menahan rasa rindu. 

Almarhum Kakek yang masih menyebut namaku diakhir hidupnya, meminta bantuanku untuk mengambil air minum namun setelah itu dia pergi untuk selamanya. 

Rasanya aku ingin sekali berada di antara keluarga itu, mengajak ngobrol si Kakek. Bukannya mengajak ya? Lalu didiamkan dan malah asyik sendiri dengan urusan masing-masing. Lantas tujuannya apa sih ngajak makan bareng keluarga ke sebuah caffe tapi pada akhirnya masih sibuk dengan urusan masing-masing? Aku suka jadi inget kalau lagi kumpul di rumah, Mamah pasti suka ngomel-ngomel kalau kita malah jadi asing karena sibuk dengan handphone sendiri. 

Lalu sebelum pulang, ketika berjalan ke arah parkiran aku melihat seorang Bapak-bapak sedang mengajari anak perempuan kecil mengaji di mushola tersebut. Anak perempuan itu menggunakan mukena, alih-alih melihat Al-Qur'an entah Iqra karena aku tak terlalu jelas melihatnya, dia malah menatap wajah Bapak tersebut. Aku tersenyum, teringat aku ketika kecil dulu, karena takut dimarahi ya jadi yang dilihat adalah wajah Bapak bukan Iqranya. 

Ngomel-ngomel karena helmet lupa tidak diamankan, lalu basah temanku malah menanggapinya dengan santai,

"Ya gak apa-apa atuh, hujan kan air ini. Ehh, jangan-jangan yang aku juga basah." 

Dan ternyata benar, helmet kami berdua basah. 

"Inget, sakit itu ada difikiran kamu. Meski helmetnya basah, fikirannya harus tetap afirmasi sehat." 

Ada banyak hal-hal istimewa di luar sana yang kita lewatkan begitu saja.  Kadang kita terlalu fokus pada sebuah pencapaian, kesuksesan, ketenaran dan melupakan hal-hal yang ada di sekitar ini. Banyak hal yang bisa kita syukuri, alih-alih iri dan juga dengi atas pencapaian orang lain. 

Sekian untuk cerita hari ini.

Love,
Ihat

Share:

Sunday, February 04, 2024

Ibu: Jangan Pernah Remehkan Perjuangannya!

Photo by Liv Bruce on Unsplash

Enam bulan tinggal di Pesantren sempat membuat saya kehilangan beberapa informasi apalagi informasi dari TV. Maklum di Pesantren kan tidak ada TV. Ya meskipun ada HP tapi tetap saja bagi saya kehadiran TV tidak bisa tergantikan. Beda saja sensasinya gitu, sekalipun menonton acara TV di HP tetap saja rasanya tak sama.

Saat hari libur tiba saya langsung mencoba untuk menonton TV. Memilih channel mana yang asik dijadikan bahan tontonan. Jemari saya begitu saja terhenti saat melihat iklan susu Dancow dengan judul “Bunda Tidak Sempurna, Tapi Cinta #BundaSelaluAda.” Begitu selesai menonton iklan itu entah mengapa hati saya begitu terkoyak.

Saya tahu, Ibu saya bukan orang hebat bahkan beliau banyak sekali kekurangannya. Dulu meski tidak pernah diucapkan dan hanya dipendam sendiri, saya sering membandingkan beliau dengan Ibu teman saya lain. Saya melihat Ibu teman saya lebih fashionable saat mengikuti rapat sehingga mendapatkan pujian dari teman-teman saya. Sementara Ibu saya? Ibu saya hanya berpakaian rapi dan sopan seperti biasa tanpa riasan make up di wajahnya. Kata Ibu pakai bedak saja sudah cukup. Jujur saja saat itu saya iri dengan pujian yang diberikan teman-teman saya kepada Ibu teman saya itu.

Kemudian saat teman saya bilang bahwa Ibunya yang mengetikan modul pembelajaran itu tidak jadi di-fotocopy, saya cuma bisa tersenyum masam dan juga menggerutu dalam hati, iyalah bisa mengetik ulang modul itu sampai rapih orang profesinya juga guru. Lha ibu saya bisa apa?

Lalu saat saya melihat Ibu teman saya yang lain yang bisa menyupir mobil sendiri, berdandan cantik, memiliki jabatan, famous, kembali lagi dalam hati saya berkata, Ibu saya naik sepeda aja masih belajar. Yah enak ya punya Ibu pejabat terus aktif di sosial media gitu. Sweet deh kayaknya. Apa-apa dipost di medsos sama anak-anaknya terus bikin caption yang romantis. Lha Ibu saya? Buat ngetik chat sama sms aja butuh waktu lama. Terus kurang ngerti sama bahasa gaul yang kekinian, kuper lagi.

Dan saya selalu cemburu jika ada Ibu teman saya yang lain yang bisa dekat dengan anaknya, bahkan bisa jadi teman curhat bagi anaknya. Lha saya? Ibu saya pendiam. Tidak banyak bicara, tidak perhatian, tidak penah tahu caranya berdandan apalagi mendandani anaknya. Ibu saya tidak pernah tahu bagaimana anaknya jatuh dan juga patah hati.

Bahkan dengan kurang ajarnya saya, saya sempat mengkhayal kalau saja Ibu saya seperti Ibu si A mungkin tidak akan begini, kalau saja Ibu saya seperti Ibu si B mungkin teman-teman saya akan memujinya, dan sebagainya.

Saya tahu Allah Maha Mendengar. Hingga akhirnya Allah menuntun saya untuk melihat dengan mata saya sendiri bahwa apa yang selama ini saya sesalkan adalah sesutau hal yang salah.

Jika dulu saya menginginkan sosok Ibu yang memiliki jabatan, famous, aktif di medsos, photo bareng sama anaknya dengan caption yang begitu menyentuh. Namun pada faktanya apa? Saya justru menemukan bahwa Ibu tersebut egois dan saat anaknya sakit justru malah minta orang lain untuk mengurusinya. Bahkan tak jarang rela meninggalkan anak dari pada meninggalkan pekerjaannya. Meski saya tahu tidak semuanya begitu namun yang saya temukan saat ini adalah demikian adanya.

Saya langsung teringat dengan Ibu di rumah. Meski dengan tampilan yang sederhana, tidak berpendidikan tinggi, gaptek, namun saat anaknya sakit beliau rela meninggalkan apa saja demi kesembuhan sang anak. Saat kaki saya terluka gegara kena knalpot motor dan sulit untuk berjalan maka saat itu Ibu saya meninggalkan pekerjaannya dan mengantarkan saya ke sekolah dengan cara saya digendong olehnya. Jika mengingat moment ini saya tak kuasa untuk menahan air mata saya.

Kemudian pengorbanan Ibu saya yang lainnya adalah saat saya sakit tifus. Mengantarkan saya ke dokter selepas sholat shubuh, membuatkan bubur untuk saya, meski pada saat itu Ibu saya tidak banyak bicara. Namun saya melihat kekhawatirannya dengan jelas saat saya dinyatakan sakit tifus. Selama perjalanan pulang dari dokter Ibu saya yang biasanya diam justru mengomeli saya habis-habisan dan saya melihat dengan jelas butiran air matanya sudah menumpuk di pelupuk matanya.

Meski Ibu saya tidak berpendidikan tinggi tapi beliau pernah menasehati saya bahwa membawa ilmu kemana-mana tidak akan terasa berat, beda lagi saat kita membawa uang kemana-mana pasti terasa berat. Hal inilah yang memotivasi saya untuk terus mencari ilmu.

Meski Ibu saya tidak bisa mengirim chat atau sms dengan cepat namun soal pulsa beliau tidak pernah hitungan. Daripada lama mending telfon aja langsung. Nah saya baru mensyukuri hal ini adalah ketika saya mendapati santri saya yang kesulitan untuk menghubungi kedua orang tuanya lantaran kedua orang tuanya tiap kali diminta telfon balik selalu beralasan tidak memiliki pulsa. Sampai santri saya itu menangis lalu berkata sambil terisak kepada saya,

“Padahal tinggal beli pulsa. Enggak mahal kok. Masa tiap kali diminta telfon alasannya selalu sama tidak ada pulsa.”

Saat itu saya hanya terdiam dan teringat Ibu di rumah.

Dan masih banyak hal lain yang dulu selalu saya bandingkan beliau dengan yang lainnya. Tapi kini tidak. Setelah perjuangannya membesarkan kami semua dengan segala keterbatasan yang dimilikinya saya rasa, saya tidak akan pernah membayar perjuangannya itu.

Ya Allah terima kasih karena telah menyadarkan saya bahwa Ibu saya adalah sosok yang luar biasa ditengah segala kekurangannya.

Kelak jika nanti saya menjadi seorang Ibu, saya ingin menjadi seorang Ibu yang kuat seperti Ibu saya, yang lebih menyayangi anaknya ketimbang urusannya sendiri.

Happy Mother’s day everyone.

Selagi masih ada Ibu di samping kita jangan pernah remehkan perjuangannya.

Dengan perasaan yang campur aduk,

Ihat


ps: tulisan ini merupakan tulisan 3 tahun yang lalu yang baru saya temukan lagi dan saya repost kembali :)

Share:

Kok Harus Ini Itu Sih? When I was 18

Tulisan ini terinspirasi dari captionnya temen saya di akun Instagramnya dan status WhatsApp santri saya yang ngedumel di grup mereka sendiri sehabis diberi tugas. Sepertinya dia lupa gak hide akun saya, but thanks a lot! You have inspired me :D.

Lantaran musibah COVID-19 yang menimpa pesantren, akhirnya pesantren memulangkan seluruh santri-santrinya berikut seluruh pengurusnya ke rumah masing-masing dan sistem pembelajaran akhirnya diganti jadi daring dimulai Sabtu depan. Nah barusan itu pengumuman-pengumuman mengenai teknis belajar daring itu seperti apa dan bagaimana, kemudian jadwal belajarnya, dan yang tak ketinggalan adalah laporan pembiasaan ibadah dan juga kegiatan selama di rumah. Setelah di share di grup WhatsApp kelas masing-masing beberapa santri (anak asuh saya) mulai mengomentari, terutama bagian laporan pembiasaan ibadah dan kegiatan selama di rumah. Saya tau kebanyakan dari mereka pasti ngedumel,

“Padahal kan di rumah, kenapa mesti laporan tahajud enggaknya sih.”

Murojaah hafalan Qur’an juga sehari harus setor.

dan lain-lain…

Bukannya saya suudzan tapi faktanya begitu dan tidak semua santri begitu sih. Tuh kan status anak asuh saya barusan udah dihapus lagi padahal belum sempat saya screenshot. Padahal kalau difikir-fikir kita kan nyuruh untuk melakukan hal-hal baik bukan nyuruh ke hal-hal yang jelek. Namun begitulah jalan menuju Surga, susahnya.

Flashback ke zaman saya dulu. When I was 18.

Saya pernah ada diposisi mereka, sama persis. Mereka yang saat ini usianya rata-rata delapan belas tahun, saya pun dulu begitu. Saat guru saya menyuruh kami semua untuk menghafal Al-Qur’an 3 juz sebagai syarat kelulusan, kemudian sering menegur kami jika tidak sholat tepat waktu, memberi kami hukuman saat kami terlambat datang ke sekolah. Bukan sering lagi, saya ngomel-ngomel mulu. Dalam hati saya bilang,

“Saya kan gak akan sekolah Tahfidz, ngapain harus ngafalin Qur’an 3 juz? 3 juz kan susah. Hafal satu juz aja udah syukur alhamdulillah.”

Atau ketika diomeli dan disuruh murojaah hafalan, sambil ngafalin hati mah tetep ngedumel. Iya gitu intinya saya kan habis lulus enggak akan tinggal di pesantren lagi, saya kan mau kuliah, terus jurusannya juga bukan agama. Repot-repot menghafal. Astaghfirullah emang! :’D

Tapi hidup ya begitu.

Kita tidak akan pernah tahu hidup akan membawa kita ke mana.

Begitupun yang terjadi pada saya. Tanpa rencana dan tak pernah terbersit dalam benak bahwa saya akan tinggal di pesantren. Qadarullah. Allah gagalkan rencana saya untuk kuliah di luar kota dan Allah pilihkan pesantren untuk saya. Hafalan Qur’an yang dulu sering saya omeli kini menjadi bekal saya di sini saat belajar bersama anak asuh saya. Nasehat-nasehat yang dulu sering dilontarkan oleh guru-guru saya kini sangatlah berarti.

Saya tahu, usia delapan belas tahun adalah usia yang paling meyebalkan menurut saya. Merasa serba tahu padahal tak tahu sedikit pun. Merasa berani padahal resikonya tak pernah difikirkan. I said it from my experience.

Dari situ saya cuma bisa senyum dan cuma bisa mengingatkan.

Sekali lagi,

Kita tidak akan pernah tahu hidup akan membawa kita kemana.

Bisa jadi hari ini kita kesal lantaran ajakan orang untuk berbuat baik, coba difikir lagi apa masih ada hari esok untuk kita?

Percayalah suatu saat kalian akan mengingat semua ajakan-ajakan baik ini dan pasti dilubuk hati terdalam kalian, kalian akan menyesalinya.

Kenapa gak dari dulu sih berbuat baiknya?

Regards,

Ihat

Share:

Di Pagi Hari

Photo by Ravi Sharma on Unsplash

Saya sangat bersyukur begitu bisa menghirup udara pagi hari yang segar. Berjalan di sekitar rumah dan melihat banyak sekali aktifitas yang dilakukan masyarakat sekitar. Ibu-ibu sudah ramai pergi ke pasar, angkot di sekitar rumah sudah bolak-balik dari shubuh tadi, ada juga Bapak-bapak yang memilih membereskan rumah sebelum pergi ke kantor, ada juga pedagang keliling yang menjajakan jajanan gorengan untuk alternatif sarapan pagi, atau suara mangkok yang dipukuli sendok dari roda tukang bubur yang lewat.

Beberapa rumah sudah terbuka jendela, pintu rumahnya, suara berisik dari isi penghuninya, atau ditemani suara musik yang membangkitkan semangat. Namun ada juga beberapa rumah yang masih sepi, pintu dan jendela rumah masih tertutup, lampu-lampu masih menyala.

Ada beberapa orang yang baru saja bangun begitu matahari sudah terbit atau ada pula orang yang sudah bangun sebelum matahari terbit. Ada orang-orang yang memilih diam di pagi hari sambil meminum secangkir kopi namun tak jarang ada pula orang-orang yang sudah ramai, cekcok berselilih paham di pagi hari.

Apapun yang kamu hadapi di pagi hari ini jangan lupa untuk selalu senantiasa bersyukur. Bersyukur karena masih diberi kesempatan untuk memulai kembali hari dengan harapan akan lebih baik dari hari kemarin. Untuk segala tugas-tugas yang masih harus dikerjakan dan diselesaikan semoga hari ini bisa segera rampung dan bisa mengerjakan tugas yang lainnya.

Ingat ada ribuan orang di belakangmu yang menginginkan kehidupan kamu saat ini. Syukuri apa yang kamu miliki saat ini sebelum detik selanjutnya hilang dan berada dipangkuan orang lain.

Cheers,

Ihat

Share:

5 Lagu yang Bikin Inget Momen Tertentu

Photo by Mark Cruz on Unsplash


Setiap orang pasti punya lagu yang jika diputar langsung teringat kenangan masa lalu, seolah menghidupkan memori lama. Saya bilangnya gitu. Selain itu juga ada beberapa orang yang tiba-tiba menangis atau tersenyum ketika mendengar lagunya. Saya sendiri begitu sih. Tapi gimana suasana hati juga. Ya kalau lagi melow-melow terus ada orang yang muterin lagu tertentu mewek saat itu juga. Seolah kayak film yang diputar begitu aja di dalam kepala tuh. Berikut ini saya rangkum aja 5 lagu yang bikin saya inget momen-momen tertentu.

  1. Tompi-Sedari Dulu

Lagu Sedari Dulu miliknya Tompi yang dirilis pada tahun 2008 berhasil bikin saya nangis tiap kali saya mendengarnya. Lagu ini memiliki kenangan tersendiri bagi saya. Jika lagu ini diputar, maka isi kepala saya akan memutar memori di tahun 2008 saat saya masih sekolah kelas 5 sd. Saat itu saya dinyatakan sakit gejala typus dan Mamah saya yang biasanya memilih untuk berdiam diri malah mengomeli saya habis-habisan di becak sehabis pulang dari dokter. Saya bukannya kesal, saya justru senang mendengarkan omelannya karena terdengar jelas nada khawatir dari mulutnya. Sebelum pulang itulah saat saya sedang menunggu obat dan Mamah waktu itu sedang memberikan resep obatnya kepada apoteker. Nah TV di ruang tunggu itu memilih channel SCTV dan sedang berlangsung acara Inbox. Tak lama lagu Tompi-Sedari Dulu itu diputar menemani saya dan Mamah yang sedang menunggu obat.

2. Kerispatih – Demi Cinta

Sebuah lagu yang saya tulis liriknya di surat perpisahan yang saya tujukan untuk sahabat-sahabat saya ketika kelas 6 SD. Waah kalau denger lagu ini inget banget momen-momen terakhir kita bersama. Bahkan kita berempat membuat sebuah nama persahabatan, SUUT. Do you still remember about SUUT? I hope you still remember! Inget gimana diam-diam kita menyukai orang yang sama, curhat bareng, gantian baca buku diary, musuhan gegara pas ulangan gak dikasih tahu, saya yang gak ikut ke Mall waktu itu dan kalian bertiga malah beliin cincin buat saya dengan bentuk hati berwarna biru yang bertuliskan Love. Sayang cincin tanda persahabatannya udah hilang. Sehat-sehat selalu ya! Well, I miss you!

3. Sherina Munaf – Cinta Pertama dan Terakhir

Duh kalau denger lagu ini perasaan saya jadi campur aduk. Antara malu, senang, sedih, dan juga menyesal. Lagu yang lirik reff nya saya kirim lewat sms ke seseorang yang saya suka waktu kelas 1 SMP. Ha!

Kau buat aku bertanya
Kau buat aku mencari
Tentang rasa ini aku tak mengerti
Akankah sama jadinya bila bukan kamu
Lalu senyummu menyadarkanku
Kaulah cinta pertama dan terakhirku

Waktu itu setelah saya kirim sms yang berisi reff lagu itu saya buru-buru kembali mengirim pesan kepadanya bahwa saya salah kirim sms. Dan sms saya itulah yang akhirnya membuat dia penasaran dan berkali-kali menanyakan untuk siapa pesan itu ditujukan hingga akhirnya saya memberanikan diri untuk bilang,

Emang kalau buat kamu kenapa?

Dia diam tak membalas dan keesokan harinya ketika di kelas jadi canggung dong. 😀

4. Maudy Ayunda – Bayangkan Rasakan

Sebuah lagu yang menemani saya saat saya sedang mengalami patah hati terberat ketika usia remaja! Sakit banget rasanya waktu itu dan kondisi saya saat itu sangat terwakili oleh lirik lagu Maudy yang satu ini. Sampai sering request di radio kalau malam habis itu kalau diputer nangis dong hihiii. Ini terjadi ketika saya duduk di bangku kelas 12. Suka dari kelas 11 eh ternyata dia suka sama orang lain dan parahnya dia selalu belain ceweknya (ya iyalah orang pacaran kan :D) lalu menyindir saya atau tak jarang keluar bahasa yang menurut saya pedas banget lah buat didengar. Dan parahnya lagi efek dari patah hati ini saya sulit buat tidur. Saya tidur kalau gak jam setengah 12 ya jam 12 malam atau enggak jam setengah 1 malam. Sering nangis tiap malam sambil sumpah serapah di buku diary. Menyalahkan diri saya sendiri bahwa selama ini saya bodoh, saya salah menyukai orang. Selain patah hati di rumah juga saya sering kena omel orang tua. Hubungan saya dengan kedua orang tua saat itu renggang sekali. Iya tiap ngobrol pasti berantem. Mereka maunya saya begini tapi mereka gak pernah tau gimana maunya saya dan kondisi saya seperti apa. Beruntung waktu itu saya gak bunuh diri, sempet waktu itu ada fikiran ke sana. Karena saya mikirnya saya gak beharga banget di dunia ini. Perasaan saya tak terbalas, orang tua marah-marah mulu kerjaannya, pokoknya dulu itu mau ke sekolah atau balik ke rumah rasanya kayak neraka. Sama-sama menyiksa. Cuma kamar saya sendiri yang waktu itu bisa didefinisikan rumah bagi saya. Tidak ada yang mengganggu, menyalahkan, memarahi, yang ada hanya suara penyiar dan lagu dari radio yang menghibur saya. Pelariannya waktu itu dengerin radio sambil nulis berlembar-lembar di buku. Waktu itu saya pengen banget curhat ke orang tua saya mengenai rasa sakitnya patah hati, tapi saya gak berani. Saya takut malah tambah dimarahin dan disuruh fokus belajar. Makannya sampai saat ini urusan asmara saya tutup rapat-rapat dan tak pernah membahas soal itu ke mereka. Mereka tak pernah tahu gimana saya patah hati, kasmaran. Semuanya saya simpan dan selalu berusaha terlihat baik-baik saja di depan mereka.

5. BTS – Epiphany

Lagu yang saya putar diam-diam dengan menggunakan headset jika suasana hati sedang galau, sedih, dan kecewa. Lagu yang suka saya putar tiap berangkat atau pulang kuliah. Sambil melihat pemandangan jalan dari balik jendela kaca bus/angkot/mobil ciamisan. Yang masih terekam jelas sampai saat ini adalah ketika saya untuk pertama kalinya pulang malam karena kelas berakhir pada saat adzan maghrib berkumandang. Saya ketinggalan bus karena saat itu saya malah balik lagi ke kampus tepatnya ke toilet masjid (karena lebih dekat dari gerbang) karena pengen buang air kecil. Teman-teman saya yang lain udah pada pulang dan mereka pulangnya ke rumah masing-masing bukan ke kostan. Saat itu karena hari Sabtu dan besoknya libur. Saya sempat minta bantuan ke teman-teman saya tapi hasilnya nihil. Bahkan salah satu teman SMA saya yang rumahnya cukup dekat dengan kampus enggan mengantar saya sampai ke jalan lain yang sering dilalui oleh bus lain yang beda jurusan. Dia malah menyuruh saya untuk tetap menunggu bus sampai busnya datang. Malam semakin larut suasana kampus sepi dan jalanan yang gelap karena pada saat itu lampu-lampu masih kurang tak seramai sekarang. Mamah dan Bapak menelfon bahkan mengkhawatirkan saya dan sempat akan menjemput saya lalu saya tolak (pada saat ini hubungan saya dengan orang tua membaik alhamdulillah). Karena jaraknya yang jauh dan waktu untuk menunggu sekitar 45 menit. Belum lagi kondisi motor Bapak yang sudah tua dan lampu motornya tidak berfungsi dengan baik. Saya menangis sendirian saat itu di halte kampus. Karena gelap tidak ada lampu saya berjalan sendirian menuju depan gerbang kampus. Sampai akhirnya setengah jam kemudian bus pun datang dengan penumpang yang sangat penuh dan saya terpaksa berdiri. Saya baru mendapatkan kursi duduk setelah dua puluh menit berdiri. Kemudian saya mengelurkan headset dari dalam tas dan memasangkannya di handphone. Memilih lagu ini sambil menangis tertahan. Duh sedih ya hihiii. Ditambah udah malam udaranya kerasa banget dingin dan saya gak bawa jaket. Sesampainya di jalan pertigaan saya turun dan disambut oleh motor bapak yang sedari tadi menunggu saya turun dari bus.

Itulah lima lagu yang bikin saya inget momen-momen tertentu. Kamu sendiri gimana?

Ihat



Share:

Thursday, January 11, 2024

Dia yang Tak Pernah Meninggalkanmu

Photo by Rohan Nathwani

Kamu harus belajar memaafkan.

Memaafkan atas kealfaan orang tuamu dalam mendidik dan membesarkanmu

karena kaupun belum tentu bisa sekuat mereka dalam menghadapi ujian hidup.

Memaafkan orang-orang yang menyakitimu, 

bisa jadi karena ada perlakuanmu yang tanpa disengaja menyakiti mereka.

Memaafkan mereka yang hanya memanfaatkan kebaikanmu, kelebihanmu.

Memaafkan mereka yang pernah mencaci makimu, merendahkanmu, lalu meninggalkanmu.

Wahai diri, perluas maafmu atas hal yang pernah terjadi padamu.

Terima apapun yang hadir padamu baik dan buruknya. 

Libatkan Tuhanmu dalam menentukan pilihan.

Cukup hanya untuk ditengok bukan untuk diratapi apalagi disesali

Karena yang terjadi kemarin sudah menjadi lembaran sejarah hidupmu.

Jika esok masih tak berpihak padamu, tak apa.

Proses belajar. Kamu diminta untuk lebih sabar dan ulet lagi

One day  berkat kerja keras dan doa yang kamu panjatkan 

Tuhan pasti akan mengabulkannya.

Belajar untuk percaya dan tidak merasa cemas lagi atas apa yang telah digariskanNya

Kamu hanya perlu menjadi hamba yang taat dan jauhi maksiat.

Ingat sejauh-jauhnya kamu meninggalkan-Nya

Bukankah Dia tidak pernah mengecewakanmu?


Ihat


Share:

Wednesday, January 10, 2024

Ingin Sumpah Serapah tapi ya Sudahlah!

Photo by Meruyert Gonullu

Sepulang kerja, aku memutuskan untuk membeli fried chicken di depan komplek untuk menu makan malam. 

"A mau beli yang dada, satu. Berapa?" kataku sopan sambil berusaha melihat harga yang terpampang di kaca roda.

"Ibu ini padahal udah sering beli masih aja nanya harganya berapa," kata si penjualnya dengan nada ketus membuatku mengerutkan kening. Agak lola emang aku pada saat itu. "Sebelas ribu," katanya lagi sambil menyerahkan ayam yang aku minta. 

Sementara otaku masih berfikir keras. Sebegitu seringnyakah aku beli fried chicken ini? Sampai si penjual ini hafal banget sama muka aku? Batinku. 

Aku menyerahkan uangnya tanpa berkata apapun kemudian balik kanan untuk  pulang dengan fikiran yang masih bekerja keras, sesering itukah aku? 

Kemudian aku ingat, kalau seringkan berarti hampir setiap hari ya? Lha aku kan kalau beli paling satu bulan sekali, gak tiap minggu juga apalagi tiap hari?

Tiba-tiba rasa kesal itu muncul dalam hati. 

"Emangnya kerjaan aku ngafalin harga ayam itu?" 

"Emangnya tiap beli aku akan terus ingat harganya berapa? Ya kalau dia jualannya cuma satu item aku juga bakal ingat harganya kali!"

Perjalanan pulang ke kosan penuh dengan pertikaian batin. Beruntung aku lola dalam mengartikan ucapannya tadi. Gak kebayang kalau aku 'ngeh' pada saat itu bisa-bisa adu mulut. 

Hingga akhirnya akupun malas kalau harus beli lagi ke sana. Mana jutek, nge gas lagi ngomongnya. Huhuuu. 

Sesampainya di kosan, aku menarik nafas panjang. Belajar untuk merefleksi diri atas apa yang terjadi. Memposisikan diri sebagai pedagang membuat aku tersadar bahwa sebagai penjual atau pedagang harus ramah dalam melayani pembeli. Jangan sampai hal-hal yang seharusnya tidak perlu dikomentari malah dikomentari. Perkara harga kan tidak setiap orang  bisa mengingatnya dengan baik. Mana aku gak sering banget belinya. Kalau tiap hari beli ya wajar dikomentari begitu. Pengen sumpah serampah tapi ya sudahlah. 

Kapok deh jadinya gak mau beli lagi ke sana. 

Aku jadi inget sama Ibu yang suka jualan seblak, nah kalau ke si ibu yang satu ini aku kehitung sering jajannya dibanding ke yang jualan chicken itu. Tiap mau bayar aku selalu memastikan bahwa harganya segitu.

"Bu, tiga belas ribu kan ya?"

"Iya betul Teh, tiga belas ribu aja."

Sering sekali aku berkata seperti itu tiap kali beli. Tapi si Ibu gak pernah marah-marah tuh, menanggapinya dengan santai dan rumah.

Ya sorry aja aku bandingkan. Lagi pula perlu banget menjaga attitude di depan pelanggan. Bayangin aja kalu ada di posisi aku gimana? Heuhh!







Share:

Monday, January 08, 2024

Perasaan yang Berkecamuk

Photo by Evie Shaffer

Sudahlah beberapa hari ini Bandung diguyur hujan, ditambah perasaan aku tak karuan. Antara ingin marah, tapi kepada siapa aku marah? Merasa kecewa, lantas harapan apa yang pernah ku buat? Ingin menangis, tapi aku bingung hal apa yang bisa membuatku menangis?

Rasanya tawaku hanya topeng belaka. Menutup rasa kekacauan yang mungkin orang lain tak bisa melihatnya. Sampai pada suatu hari, aku ketahuan sedang melamun di tengah-tengah keramaian. Dipanggil pun aku tak menyahut, hingga entah panggilan ke berapa baru aku bisa sadar dan menoleh. 

Keesokannya sungguh, perasaan aku semakin kacau. Akupun bingung dengan perasaan ini. Perasaan yang sudah kuterima tetapi aku kebingungan sendiri karena aku sungguh tidak mengenalnya. Sampai pertanyaan itupun terlontar dari rekan kerjaku,

"Kamu gimana kabarnya?"

Pertanyaan umum tapi justru malah membuat aku tersentak mendengarnya. Cukup beberapa detik untuk aku bisa mencerna pertanyaannya itu.

"Alhamdulillah baik." Jawabku pendek sembari memalingkah wajah. 

"Akhir-akhir ini sepertinya kamu banyak murungnya. Tidak seperti biasanya."

Cukup membuatku lebih tersentak lagi dengan pengakuannya itu. Sekilas aku melihat wajahnya, aku jawab dengan seadanya sambil menundukkan wajah.

"Ah, enggak. Biasa aja kok."

"Yakin baik-baik aja?"

 "Iya, baik." Jawabku tetap menunduk lantas menjauh dari rekan kerjaku itu dan mengalihkan pembicaraan dengan topik lain.

Aku terus mencari-cari alasan atas perasaanku yang berkecamuk ini. 

Ada apa ya? Ingin memaki, tapi siapa dan apa yang bisa aku maki? Berkali-kali malam datang dan aku menangis tetap saja perasaan ini masih saja menetap dan enggan memberiku jawabannya.

Terkadang aku menerka-nerka. Apa jangan-jangan karena janji yang pernah dibuat lantas diingkari bahkan dilupakan begitu saja?

Apa iya itu?

Kalaupun iya berarti aku sudah salah kembali dalam menaruh harap.

Harapan yang seharusnya aku sandarkan kepada sang Maha Pencipta bukan kepada ciptaan-Nya. 


Love
Ihat

Share:

Wednesday, January 03, 2024

Manusia Hanya Bisa Merencanakan



Photo by Ylanite Koppens


Liburan semester sudah berakhir dan aku sudah kembali lagi bekerja pada hari ini. Di saat yang lain masih merasakan liburannya, aku sudah kembali harus memikirkan pekerjaan. Udahlah satu minggu kemarin list liburan yang sudah aku tulis dan rencanakan berantakan karena qadarullah aku sakit. Hampir lima hari aku hanya bisa berdiam diri, tiduran di kasur sambil menahan rasa sakit di gusi. Sempat diperiksa ke Puskesmas terdekat dan dokter mendiagnosis Chronic Periodontitis yang intinya adalah infeksi gusi. Rasanya nyut-nyutan dan benar-benar selama empat hari berturut-turut aku tidak bisa tidur pulas. Selalu saja terbangun saat rasa sakit itu menyerang.

Selama aku sakit kemarin, selain harus menahan rasa sakit yang tak tertahankan aku juga mencoba merenung. Barangkali ada hal yang selama ini yang tak bisa aku jaga sehingga aku harus merasakan rasa sakit ini. Dan yup! I realized bahwa minggu-minggu sebelum libur itu aku kurang minum air putih, jarang makan buah dan sayur seringnya malah beli minuman manis dan makanan pedas. Ok, I admit that I was wrong. 

Kemudian ada juga hal yang aku lupa lakukan sebelum libur kemarin itu. Saat aku menyusun planning liburan itu aku lupa untuk mengatakan kata insha allah. Selama proses menyusun planning itu fikiran aku udah seneng aja gitu, membayangkan bahwa aku sudah berada di tempat yang ingin aku tuju dan lupa bahwa kemampuan manusia hanya bisa merencanakan sementara Allah lah yang akan menentukan. 

Dari kedua hal tersebut aku jadi belajar untuk bisa menjaga kesehatan dan selalu melibatkan nama Allah di setiap planning yang kita buat. Biar pas gak terlaksananya kita tidak merasa kesal dan menggerutu karena di awal sudah menyakinkan diri bahwa kita sebagai manusia sekali lagi hanya bisa merencanakan.

Love,
Ihat





Share:

Monday, November 06, 2023

Sekalinya Terusik, Dia Akan Berisik

 

Photo by Markus Winkler

Ada yang beda dan kini tak lagi sama. Dari sorot matamu yang kini mulai memalingkan ke arah lain. Kadang aku bingung, bukankah selama ini kamu yang selalu mengajariku untuk menatap orang yang tengah berbicara padamu? Lantas setelah aku berani dan percaya diri untuk menatap siapapun yang sedang berbicara denganku, kamu justru malah berpaling?

Aku mengerutkan kening. Maumu apa sih? Ada yang salah dengan diriku? Jika iya, kamu bisa mengutarakannya. Bukannya diam-diam menjauh, seolah membuat benteng tinggi tapi akhirnya kamu coba untuk mengakrabkan diri lagi? Gimana sih?

Atau jangan-jangan kamu sudah menangkap sinyal yang aku pancarkan? Lalu tanpa konfirmasi kamu malah berspekulasi bahwa ada sesuatu yang tersembunyi dari diri ini. Betulkah? Kalau memang betul ya harusnya kita duduk bersama, bicarakan bersama, lalu selesai. Tak perlu membangun tembok tinggi-tinggi sebagai penghalang agar jarak diantara kita tercipta. Karena sesungguhnya perasaan aku bukan tentang kamu. Perasaan aku saat ini hanya untuk aku sendiri. Tidak untuk orang lain. Jikalau kamu tahu, rona merah di wajahmu akan tercipta karena kamu sudah memutuskan sesuai prasangkamu sendiri. Sedangkan aku? Mungkin aku akan tertawa terbahak melihat wajah kepiting rebusmu di hadapanku.

Jadi sekali lagi, kalau mau berteman ya berteman. Harus ada batas? Ya sudah jangan ajari aku untuk bisa melawan batas. Kamu sendiri yang membuka batasan itu hingga aku bisa berjalan bebas tanpa merasa cemas. Lantas saat batasmu terusik, kamu berteriak bak orang kerasukan membuatku terpental jauh.

Cukup setelah teriakanmu itu aku justru membuat batas untuk diriku sendiri. Sekalipun kamu mencoba untuk mencairkannya kembali, aku sudah terlanjur membuat batasan itu setinggi mungkin. Karena acap kali batasanmu kamu buka, aku sudah tak tertarik lagi untuk melawan batasmu. Buat apa? Jika pada akhirnya aku akan diteriaki lagi, kemudian terpental jauh?

Jika memang tidak siap batasmu diusik, tolong jangan ajarkan aku untuk sekedar mengetahui apalagi melewati bahkan sampai melawan batas. 

Dan satu hal yang kini aku pelajari darimu adalah saat ada orang yang seolah-olah membuka batasan itu untuk kita, tak seharusnya kita masuk dan melewati batas itu. Karena sekalinya terusik, dia akan berisik. 

 Love,

Ihat


Share:
My photo
I'm a storyteller who could look back at my life and get a valuable story out of it. I'm trying to figure things out by writing. Welcome to my journey! Please hit me up ihatazmi@gmail.com