Sepulang kerja, aku memutuskan untuk membeli fried chicken di depan komplek untuk menu makan malam.
"A mau beli yang dada, satu. Berapa?" kataku sopan sambil berusaha melihat harga yang terpampang di kaca roda.
"Ibu ini padahal udah sering beli masih aja nanya harganya berapa," kata si penjualnya dengan nada ketus membuatku mengerutkan kening. Agak lola emang aku pada saat itu. "Sebelas ribu," katanya lagi sambil menyerahkan ayam yang aku minta.
Sementara otaku masih berfikir keras. Sebegitu seringnyakah aku beli fried chicken ini? Sampai si penjual ini hafal banget sama muka aku? Batinku.
Aku menyerahkan uangnya tanpa berkata apapun kemudian balik kanan untuk pulang dengan fikiran yang masih bekerja keras, sesering itukah aku?
Kemudian aku ingat, kalau seringkan berarti hampir setiap hari ya? Lha aku kan kalau beli paling satu bulan sekali, gak tiap minggu juga apalagi tiap hari?
Tiba-tiba rasa kesal itu muncul dalam hati.
"Emangnya kerjaan aku ngafalin harga ayam itu?"
"Emangnya tiap beli aku akan terus ingat harganya berapa? Ya kalau dia jualannya cuma satu item aku juga bakal ingat harganya kali!"
Perjalanan pulang ke kosan penuh dengan pertikaian batin. Beruntung aku lola dalam mengartikan ucapannya tadi. Gak kebayang kalau aku 'ngeh' pada saat itu bisa-bisa adu mulut.
Hingga akhirnya akupun malas kalau harus beli lagi ke sana. Mana jutek, nge gas lagi ngomongnya. Huhuuu.
Sesampainya di kosan, aku menarik nafas panjang. Belajar untuk merefleksi diri atas apa yang terjadi. Memposisikan diri sebagai pedagang membuat aku tersadar bahwa sebagai penjual atau pedagang harus ramah dalam melayani pembeli. Jangan sampai hal-hal yang seharusnya tidak perlu dikomentari malah dikomentari. Perkara harga kan tidak setiap orang bisa mengingatnya dengan baik. Mana aku gak sering banget belinya. Kalau tiap hari beli ya wajar dikomentari begitu. Pengen sumpah serampah tapi ya sudahlah.
Kapok deh jadinya gak mau beli lagi ke sana.
Aku jadi inget sama Ibu yang suka jualan seblak, nah kalau ke si ibu yang satu ini aku kehitung sering jajannya dibanding ke yang jualan chicken itu. Tiap mau bayar aku selalu memastikan bahwa harganya segitu.
"Bu, tiga belas ribu kan ya?"
"Iya betul Teh, tiga belas ribu aja."
Sering sekali aku berkata seperti itu tiap kali beli. Tapi si Ibu gak pernah marah-marah tuh, menanggapinya dengan santai dan rumah.
Ya sorry aja aku bandingkan. Lagi pula perlu banget menjaga attitude di depan pelanggan. Bayangin aja kalu ada di posisi aku gimana? Heuhh!