Showing posts with label Catatan Harian. Show all posts
Showing posts with label Catatan Harian. Show all posts

Sunday, February 04, 2024

Ibu: Jangan Pernah Remehkan Perjuangannya!

Photo by Liv Bruce on Unsplash

Enam bulan tinggal di Pesantren sempat membuat saya kehilangan beberapa informasi apalagi informasi dari TV. Maklum di Pesantren kan tidak ada TV. Ya meskipun ada HP tapi tetap saja bagi saya kehadiran TV tidak bisa tergantikan. Beda saja sensasinya gitu, sekalipun menonton acara TV di HP tetap saja rasanya tak sama.

Saat hari libur tiba saya langsung mencoba untuk menonton TV. Memilih channel mana yang asik dijadikan bahan tontonan. Jemari saya begitu saja terhenti saat melihat iklan susu Dancow dengan judul “Bunda Tidak Sempurna, Tapi Cinta #BundaSelaluAda.” Begitu selesai menonton iklan itu entah mengapa hati saya begitu terkoyak.

Saya tahu, Ibu saya bukan orang hebat bahkan beliau banyak sekali kekurangannya. Dulu meski tidak pernah diucapkan dan hanya dipendam sendiri, saya sering membandingkan beliau dengan Ibu teman saya lain. Saya melihat Ibu teman saya lebih fashionable saat mengikuti rapat sehingga mendapatkan pujian dari teman-teman saya. Sementara Ibu saya? Ibu saya hanya berpakaian rapi dan sopan seperti biasa tanpa riasan make up di wajahnya. Kata Ibu pakai bedak saja sudah cukup. Jujur saja saat itu saya iri dengan pujian yang diberikan teman-teman saya kepada Ibu teman saya itu.

Kemudian saat teman saya bilang bahwa Ibunya yang mengetikan modul pembelajaran itu tidak jadi di-fotocopy, saya cuma bisa tersenyum masam dan juga menggerutu dalam hati, iyalah bisa mengetik ulang modul itu sampai rapih orang profesinya juga guru. Lha ibu saya bisa apa?

Lalu saat saya melihat Ibu teman saya yang lain yang bisa menyupir mobil sendiri, berdandan cantik, memiliki jabatan, famous, kembali lagi dalam hati saya berkata, Ibu saya naik sepeda aja masih belajar. Yah enak ya punya Ibu pejabat terus aktif di sosial media gitu. Sweet deh kayaknya. Apa-apa dipost di medsos sama anak-anaknya terus bikin caption yang romantis. Lha Ibu saya? Buat ngetik chat sama sms aja butuh waktu lama. Terus kurang ngerti sama bahasa gaul yang kekinian, kuper lagi.

Dan saya selalu cemburu jika ada Ibu teman saya yang lain yang bisa dekat dengan anaknya, bahkan bisa jadi teman curhat bagi anaknya. Lha saya? Ibu saya pendiam. Tidak banyak bicara, tidak perhatian, tidak penah tahu caranya berdandan apalagi mendandani anaknya. Ibu saya tidak pernah tahu bagaimana anaknya jatuh dan juga patah hati.

Bahkan dengan kurang ajarnya saya, saya sempat mengkhayal kalau saja Ibu saya seperti Ibu si A mungkin tidak akan begini, kalau saja Ibu saya seperti Ibu si B mungkin teman-teman saya akan memujinya, dan sebagainya.

Saya tahu Allah Maha Mendengar. Hingga akhirnya Allah menuntun saya untuk melihat dengan mata saya sendiri bahwa apa yang selama ini saya sesalkan adalah sesutau hal yang salah.

Jika dulu saya menginginkan sosok Ibu yang memiliki jabatan, famous, aktif di medsos, photo bareng sama anaknya dengan caption yang begitu menyentuh. Namun pada faktanya apa? Saya justru menemukan bahwa Ibu tersebut egois dan saat anaknya sakit justru malah minta orang lain untuk mengurusinya. Bahkan tak jarang rela meninggalkan anak dari pada meninggalkan pekerjaannya. Meski saya tahu tidak semuanya begitu namun yang saya temukan saat ini adalah demikian adanya.

Saya langsung teringat dengan Ibu di rumah. Meski dengan tampilan yang sederhana, tidak berpendidikan tinggi, gaptek, namun saat anaknya sakit beliau rela meninggalkan apa saja demi kesembuhan sang anak. Saat kaki saya terluka gegara kena knalpot motor dan sulit untuk berjalan maka saat itu Ibu saya meninggalkan pekerjaannya dan mengantarkan saya ke sekolah dengan cara saya digendong olehnya. Jika mengingat moment ini saya tak kuasa untuk menahan air mata saya.

Kemudian pengorbanan Ibu saya yang lainnya adalah saat saya sakit tifus. Mengantarkan saya ke dokter selepas sholat shubuh, membuatkan bubur untuk saya, meski pada saat itu Ibu saya tidak banyak bicara. Namun saya melihat kekhawatirannya dengan jelas saat saya dinyatakan sakit tifus. Selama perjalanan pulang dari dokter Ibu saya yang biasanya diam justru mengomeli saya habis-habisan dan saya melihat dengan jelas butiran air matanya sudah menumpuk di pelupuk matanya.

Meski Ibu saya tidak berpendidikan tinggi tapi beliau pernah menasehati saya bahwa membawa ilmu kemana-mana tidak akan terasa berat, beda lagi saat kita membawa uang kemana-mana pasti terasa berat. Hal inilah yang memotivasi saya untuk terus mencari ilmu.

Meski Ibu saya tidak bisa mengirim chat atau sms dengan cepat namun soal pulsa beliau tidak pernah hitungan. Daripada lama mending telfon aja langsung. Nah saya baru mensyukuri hal ini adalah ketika saya mendapati santri saya yang kesulitan untuk menghubungi kedua orang tuanya lantaran kedua orang tuanya tiap kali diminta telfon balik selalu beralasan tidak memiliki pulsa. Sampai santri saya itu menangis lalu berkata sambil terisak kepada saya,

“Padahal tinggal beli pulsa. Enggak mahal kok. Masa tiap kali diminta telfon alasannya selalu sama tidak ada pulsa.”

Saat itu saya hanya terdiam dan teringat Ibu di rumah.

Dan masih banyak hal lain yang dulu selalu saya bandingkan beliau dengan yang lainnya. Tapi kini tidak. Setelah perjuangannya membesarkan kami semua dengan segala keterbatasan yang dimilikinya saya rasa, saya tidak akan pernah membayar perjuangannya itu.

Ya Allah terima kasih karena telah menyadarkan saya bahwa Ibu saya adalah sosok yang luar biasa ditengah segala kekurangannya.

Kelak jika nanti saya menjadi seorang Ibu, saya ingin menjadi seorang Ibu yang kuat seperti Ibu saya, yang lebih menyayangi anaknya ketimbang urusannya sendiri.

Happy Mother’s day everyone.

Selagi masih ada Ibu di samping kita jangan pernah remehkan perjuangannya.

Dengan perasaan yang campur aduk,

Ihat


ps: tulisan ini merupakan tulisan 3 tahun yang lalu yang baru saya temukan lagi dan saya repost kembali :)

Share:

Kok Harus Ini Itu Sih? When I was 18

Tulisan ini terinspirasi dari captionnya temen saya di akun Instagramnya dan status WhatsApp santri saya yang ngedumel di grup mereka sendiri sehabis diberi tugas. Sepertinya dia lupa gak hide akun saya, but thanks a lot! You have inspired me :D.

Lantaran musibah COVID-19 yang menimpa pesantren, akhirnya pesantren memulangkan seluruh santri-santrinya berikut seluruh pengurusnya ke rumah masing-masing dan sistem pembelajaran akhirnya diganti jadi daring dimulai Sabtu depan. Nah barusan itu pengumuman-pengumuman mengenai teknis belajar daring itu seperti apa dan bagaimana, kemudian jadwal belajarnya, dan yang tak ketinggalan adalah laporan pembiasaan ibadah dan juga kegiatan selama di rumah. Setelah di share di grup WhatsApp kelas masing-masing beberapa santri (anak asuh saya) mulai mengomentari, terutama bagian laporan pembiasaan ibadah dan kegiatan selama di rumah. Saya tau kebanyakan dari mereka pasti ngedumel,

“Padahal kan di rumah, kenapa mesti laporan tahajud enggaknya sih.”

Murojaah hafalan Qur’an juga sehari harus setor.

dan lain-lain…

Bukannya saya suudzan tapi faktanya begitu dan tidak semua santri begitu sih. Tuh kan status anak asuh saya barusan udah dihapus lagi padahal belum sempat saya screenshot. Padahal kalau difikir-fikir kita kan nyuruh untuk melakukan hal-hal baik bukan nyuruh ke hal-hal yang jelek. Namun begitulah jalan menuju Surga, susahnya.

Flashback ke zaman saya dulu. When I was 18.

Saya pernah ada diposisi mereka, sama persis. Mereka yang saat ini usianya rata-rata delapan belas tahun, saya pun dulu begitu. Saat guru saya menyuruh kami semua untuk menghafal Al-Qur’an 3 juz sebagai syarat kelulusan, kemudian sering menegur kami jika tidak sholat tepat waktu, memberi kami hukuman saat kami terlambat datang ke sekolah. Bukan sering lagi, saya ngomel-ngomel mulu. Dalam hati saya bilang,

“Saya kan gak akan sekolah Tahfidz, ngapain harus ngafalin Qur’an 3 juz? 3 juz kan susah. Hafal satu juz aja udah syukur alhamdulillah.”

Atau ketika diomeli dan disuruh murojaah hafalan, sambil ngafalin hati mah tetep ngedumel. Iya gitu intinya saya kan habis lulus enggak akan tinggal di pesantren lagi, saya kan mau kuliah, terus jurusannya juga bukan agama. Repot-repot menghafal. Astaghfirullah emang! :’D

Tapi hidup ya begitu.

Kita tidak akan pernah tahu hidup akan membawa kita ke mana.

Begitupun yang terjadi pada saya. Tanpa rencana dan tak pernah terbersit dalam benak bahwa saya akan tinggal di pesantren. Qadarullah. Allah gagalkan rencana saya untuk kuliah di luar kota dan Allah pilihkan pesantren untuk saya. Hafalan Qur’an yang dulu sering saya omeli kini menjadi bekal saya di sini saat belajar bersama anak asuh saya. Nasehat-nasehat yang dulu sering dilontarkan oleh guru-guru saya kini sangatlah berarti.

Saya tahu, usia delapan belas tahun adalah usia yang paling meyebalkan menurut saya. Merasa serba tahu padahal tak tahu sedikit pun. Merasa berani padahal resikonya tak pernah difikirkan. I said it from my experience.

Dari situ saya cuma bisa senyum dan cuma bisa mengingatkan.

Sekali lagi,

Kita tidak akan pernah tahu hidup akan membawa kita kemana.

Bisa jadi hari ini kita kesal lantaran ajakan orang untuk berbuat baik, coba difikir lagi apa masih ada hari esok untuk kita?

Percayalah suatu saat kalian akan mengingat semua ajakan-ajakan baik ini dan pasti dilubuk hati terdalam kalian, kalian akan menyesalinya.

Kenapa gak dari dulu sih berbuat baiknya?

Regards,

Ihat

Share:

Di Pagi Hari

Photo by Ravi Sharma on Unsplash

Saya sangat bersyukur begitu bisa menghirup udara pagi hari yang segar. Berjalan di sekitar rumah dan melihat banyak sekali aktifitas yang dilakukan masyarakat sekitar. Ibu-ibu sudah ramai pergi ke pasar, angkot di sekitar rumah sudah bolak-balik dari shubuh tadi, ada juga Bapak-bapak yang memilih membereskan rumah sebelum pergi ke kantor, ada juga pedagang keliling yang menjajakan jajanan gorengan untuk alternatif sarapan pagi, atau suara mangkok yang dipukuli sendok dari roda tukang bubur yang lewat.

Beberapa rumah sudah terbuka jendela, pintu rumahnya, suara berisik dari isi penghuninya, atau ditemani suara musik yang membangkitkan semangat. Namun ada juga beberapa rumah yang masih sepi, pintu dan jendela rumah masih tertutup, lampu-lampu masih menyala.

Ada beberapa orang yang baru saja bangun begitu matahari sudah terbit atau ada pula orang yang sudah bangun sebelum matahari terbit. Ada orang-orang yang memilih diam di pagi hari sambil meminum secangkir kopi namun tak jarang ada pula orang-orang yang sudah ramai, cekcok berselilih paham di pagi hari.

Apapun yang kamu hadapi di pagi hari ini jangan lupa untuk selalu senantiasa bersyukur. Bersyukur karena masih diberi kesempatan untuk memulai kembali hari dengan harapan akan lebih baik dari hari kemarin. Untuk segala tugas-tugas yang masih harus dikerjakan dan diselesaikan semoga hari ini bisa segera rampung dan bisa mengerjakan tugas yang lainnya.

Ingat ada ribuan orang di belakangmu yang menginginkan kehidupan kamu saat ini. Syukuri apa yang kamu miliki saat ini sebelum detik selanjutnya hilang dan berada dipangkuan orang lain.

Cheers,

Ihat

Share:

5 Lagu yang Bikin Inget Momen Tertentu

Photo by Mark Cruz on Unsplash


Setiap orang pasti punya lagu yang jika diputar langsung teringat kenangan masa lalu, seolah menghidupkan memori lama. Saya bilangnya gitu. Selain itu juga ada beberapa orang yang tiba-tiba menangis atau tersenyum ketika mendengar lagunya. Saya sendiri begitu sih. Tapi gimana suasana hati juga. Ya kalau lagi melow-melow terus ada orang yang muterin lagu tertentu mewek saat itu juga. Seolah kayak film yang diputar begitu aja di dalam kepala tuh. Berikut ini saya rangkum aja 5 lagu yang bikin saya inget momen-momen tertentu.

  1. Tompi-Sedari Dulu

Lagu Sedari Dulu miliknya Tompi yang dirilis pada tahun 2008 berhasil bikin saya nangis tiap kali saya mendengarnya. Lagu ini memiliki kenangan tersendiri bagi saya. Jika lagu ini diputar, maka isi kepala saya akan memutar memori di tahun 2008 saat saya masih sekolah kelas 5 sd. Saat itu saya dinyatakan sakit gejala typus dan Mamah saya yang biasanya memilih untuk berdiam diri malah mengomeli saya habis-habisan di becak sehabis pulang dari dokter. Saya bukannya kesal, saya justru senang mendengarkan omelannya karena terdengar jelas nada khawatir dari mulutnya. Sebelum pulang itulah saat saya sedang menunggu obat dan Mamah waktu itu sedang memberikan resep obatnya kepada apoteker. Nah TV di ruang tunggu itu memilih channel SCTV dan sedang berlangsung acara Inbox. Tak lama lagu Tompi-Sedari Dulu itu diputar menemani saya dan Mamah yang sedang menunggu obat.

2. Kerispatih – Demi Cinta

Sebuah lagu yang saya tulis liriknya di surat perpisahan yang saya tujukan untuk sahabat-sahabat saya ketika kelas 6 SD. Waah kalau denger lagu ini inget banget momen-momen terakhir kita bersama. Bahkan kita berempat membuat sebuah nama persahabatan, SUUT. Do you still remember about SUUT? I hope you still remember! Inget gimana diam-diam kita menyukai orang yang sama, curhat bareng, gantian baca buku diary, musuhan gegara pas ulangan gak dikasih tahu, saya yang gak ikut ke Mall waktu itu dan kalian bertiga malah beliin cincin buat saya dengan bentuk hati berwarna biru yang bertuliskan Love. Sayang cincin tanda persahabatannya udah hilang. Sehat-sehat selalu ya! Well, I miss you!

3. Sherina Munaf – Cinta Pertama dan Terakhir

Duh kalau denger lagu ini perasaan saya jadi campur aduk. Antara malu, senang, sedih, dan juga menyesal. Lagu yang lirik reff nya saya kirim lewat sms ke seseorang yang saya suka waktu kelas 1 SMP. Ha!

Kau buat aku bertanya
Kau buat aku mencari
Tentang rasa ini aku tak mengerti
Akankah sama jadinya bila bukan kamu
Lalu senyummu menyadarkanku
Kaulah cinta pertama dan terakhirku

Waktu itu setelah saya kirim sms yang berisi reff lagu itu saya buru-buru kembali mengirim pesan kepadanya bahwa saya salah kirim sms. Dan sms saya itulah yang akhirnya membuat dia penasaran dan berkali-kali menanyakan untuk siapa pesan itu ditujukan hingga akhirnya saya memberanikan diri untuk bilang,

Emang kalau buat kamu kenapa?

Dia diam tak membalas dan keesokan harinya ketika di kelas jadi canggung dong. 😀

4. Maudy Ayunda – Bayangkan Rasakan

Sebuah lagu yang menemani saya saat saya sedang mengalami patah hati terberat ketika usia remaja! Sakit banget rasanya waktu itu dan kondisi saya saat itu sangat terwakili oleh lirik lagu Maudy yang satu ini. Sampai sering request di radio kalau malam habis itu kalau diputer nangis dong hihiii. Ini terjadi ketika saya duduk di bangku kelas 12. Suka dari kelas 11 eh ternyata dia suka sama orang lain dan parahnya dia selalu belain ceweknya (ya iyalah orang pacaran kan :D) lalu menyindir saya atau tak jarang keluar bahasa yang menurut saya pedas banget lah buat didengar. Dan parahnya lagi efek dari patah hati ini saya sulit buat tidur. Saya tidur kalau gak jam setengah 12 ya jam 12 malam atau enggak jam setengah 1 malam. Sering nangis tiap malam sambil sumpah serapah di buku diary. Menyalahkan diri saya sendiri bahwa selama ini saya bodoh, saya salah menyukai orang. Selain patah hati di rumah juga saya sering kena omel orang tua. Hubungan saya dengan kedua orang tua saat itu renggang sekali. Iya tiap ngobrol pasti berantem. Mereka maunya saya begini tapi mereka gak pernah tau gimana maunya saya dan kondisi saya seperti apa. Beruntung waktu itu saya gak bunuh diri, sempet waktu itu ada fikiran ke sana. Karena saya mikirnya saya gak beharga banget di dunia ini. Perasaan saya tak terbalas, orang tua marah-marah mulu kerjaannya, pokoknya dulu itu mau ke sekolah atau balik ke rumah rasanya kayak neraka. Sama-sama menyiksa. Cuma kamar saya sendiri yang waktu itu bisa didefinisikan rumah bagi saya. Tidak ada yang mengganggu, menyalahkan, memarahi, yang ada hanya suara penyiar dan lagu dari radio yang menghibur saya. Pelariannya waktu itu dengerin radio sambil nulis berlembar-lembar di buku. Waktu itu saya pengen banget curhat ke orang tua saya mengenai rasa sakitnya patah hati, tapi saya gak berani. Saya takut malah tambah dimarahin dan disuruh fokus belajar. Makannya sampai saat ini urusan asmara saya tutup rapat-rapat dan tak pernah membahas soal itu ke mereka. Mereka tak pernah tahu gimana saya patah hati, kasmaran. Semuanya saya simpan dan selalu berusaha terlihat baik-baik saja di depan mereka.

5. BTS – Epiphany

Lagu yang saya putar diam-diam dengan menggunakan headset jika suasana hati sedang galau, sedih, dan kecewa. Lagu yang suka saya putar tiap berangkat atau pulang kuliah. Sambil melihat pemandangan jalan dari balik jendela kaca bus/angkot/mobil ciamisan. Yang masih terekam jelas sampai saat ini adalah ketika saya untuk pertama kalinya pulang malam karena kelas berakhir pada saat adzan maghrib berkumandang. Saya ketinggalan bus karena saat itu saya malah balik lagi ke kampus tepatnya ke toilet masjid (karena lebih dekat dari gerbang) karena pengen buang air kecil. Teman-teman saya yang lain udah pada pulang dan mereka pulangnya ke rumah masing-masing bukan ke kostan. Saat itu karena hari Sabtu dan besoknya libur. Saya sempat minta bantuan ke teman-teman saya tapi hasilnya nihil. Bahkan salah satu teman SMA saya yang rumahnya cukup dekat dengan kampus enggan mengantar saya sampai ke jalan lain yang sering dilalui oleh bus lain yang beda jurusan. Dia malah menyuruh saya untuk tetap menunggu bus sampai busnya datang. Malam semakin larut suasana kampus sepi dan jalanan yang gelap karena pada saat itu lampu-lampu masih kurang tak seramai sekarang. Mamah dan Bapak menelfon bahkan mengkhawatirkan saya dan sempat akan menjemput saya lalu saya tolak (pada saat ini hubungan saya dengan orang tua membaik alhamdulillah). Karena jaraknya yang jauh dan waktu untuk menunggu sekitar 45 menit. Belum lagi kondisi motor Bapak yang sudah tua dan lampu motornya tidak berfungsi dengan baik. Saya menangis sendirian saat itu di halte kampus. Karena gelap tidak ada lampu saya berjalan sendirian menuju depan gerbang kampus. Sampai akhirnya setengah jam kemudian bus pun datang dengan penumpang yang sangat penuh dan saya terpaksa berdiri. Saya baru mendapatkan kursi duduk setelah dua puluh menit berdiri. Kemudian saya mengelurkan headset dari dalam tas dan memasangkannya di handphone. Memilih lagu ini sambil menangis tertahan. Duh sedih ya hihiii. Ditambah udah malam udaranya kerasa banget dingin dan saya gak bawa jaket. Sesampainya di jalan pertigaan saya turun dan disambut oleh motor bapak yang sedari tadi menunggu saya turun dari bus.

Itulah lima lagu yang bikin saya inget momen-momen tertentu. Kamu sendiri gimana?

Ihat



Share:

Monday, January 08, 2024

Perasaan yang Berkecamuk

Photo by Evie Shaffer

Sudahlah beberapa hari ini Bandung diguyur hujan, ditambah perasaan aku tak karuan. Antara ingin marah, tapi kepada siapa aku marah? Merasa kecewa, lantas harapan apa yang pernah ku buat? Ingin menangis, tapi aku bingung hal apa yang bisa membuatku menangis?

Rasanya tawaku hanya topeng belaka. Menutup rasa kekacauan yang mungkin orang lain tak bisa melihatnya. Sampai pada suatu hari, aku ketahuan sedang melamun di tengah-tengah keramaian. Dipanggil pun aku tak menyahut, hingga entah panggilan ke berapa baru aku bisa sadar dan menoleh. 

Keesokannya sungguh, perasaan aku semakin kacau. Akupun bingung dengan perasaan ini. Perasaan yang sudah kuterima tetapi aku kebingungan sendiri karena aku sungguh tidak mengenalnya. Sampai pertanyaan itupun terlontar dari rekan kerjaku,

"Kamu gimana kabarnya?"

Pertanyaan umum tapi justru malah membuat aku tersentak mendengarnya. Cukup beberapa detik untuk aku bisa mencerna pertanyaannya itu.

"Alhamdulillah baik." Jawabku pendek sembari memalingkah wajah. 

"Akhir-akhir ini sepertinya kamu banyak murungnya. Tidak seperti biasanya."

Cukup membuatku lebih tersentak lagi dengan pengakuannya itu. Sekilas aku melihat wajahnya, aku jawab dengan seadanya sambil menundukkan wajah.

"Ah, enggak. Biasa aja kok."

"Yakin baik-baik aja?"

 "Iya, baik." Jawabku tetap menunduk lantas menjauh dari rekan kerjaku itu dan mengalihkan pembicaraan dengan topik lain.

Aku terus mencari-cari alasan atas perasaanku yang berkecamuk ini. 

Ada apa ya? Ingin memaki, tapi siapa dan apa yang bisa aku maki? Berkali-kali malam datang dan aku menangis tetap saja perasaan ini masih saja menetap dan enggan memberiku jawabannya.

Terkadang aku menerka-nerka. Apa jangan-jangan karena janji yang pernah dibuat lantas diingkari bahkan dilupakan begitu saja?

Apa iya itu?

Kalaupun iya berarti aku sudah salah kembali dalam menaruh harap.

Harapan yang seharusnya aku sandarkan kepada sang Maha Pencipta bukan kepada ciptaan-Nya. 


Love
Ihat

Share:

Thursday, September 14, 2023

When September Called Me


Photo by Francesco Ungaro


Suddenly the time called me…

Setelah dua tahun berlalu mengapa tiba-tiba kenangan buruk di bulan September kembali hadir dan memporak-porandakan seluruh benteng pertahanan yang telah aku bangun dengan susah payah.

Jika September lalu aku bisa berjalan tanpa harus kesakitan mengingatmu lagi, lantas mengapa September kali ini aku harus jatuh ke lubang yang sama? Kembali mengingatmu, kembali mencercamu, kembali lagi menangisimu…

Sudah seharusnya, ya sudah seharusnya aku tak lagi menangisimu saat kembali membuka catatan lama. Membaca setiap ejaan yang kemudian menghidupkan kembali kenangan lama. Aku ingin kembali membencimu, tapi hatiku terlampau lelah. Aku ingin kembali marah, berteriak kepadamu. Tapi buat apa? Toh dengan marahnya aku tak akan membuatmu berpaling darinya begitupun dengan aku yang enggan untuk kembali mengulang bersama lagi.

Aku terus mencari alasan lain. Hingga akhirnya aku sadar, aku masih bertanya-tanya atas kepergianmu yang mendadak dan juga tanpa kejelasan yang jelas. Kamu tak mengakhirinya hanya menyisakan koma yang tak kunjung usai. Alih-alih menyelesaikan kamu malah membuat cerita baru yang kini sudah tak bisa diganggu gugat lagi pemiliknya.

Sadar bahwa sudah seharusnya aku mengikhlaskan koma yang tak kunjung selesai ini. Hanya saja ikhlas tak semudah kata yang terucap, tak semudah tindakan yang harus dilakukan. Aku sadar. Aku perlu dialog-dialog yang lebih panjang lagi untuk benar-benar bisa memulihkan hatiku  dan menyadarkan aku bahwa aku tak perlu lagi mencari alasan ataupun sebab atas kepergianmu yang bak ditelan di bumi.

Karena seperti katamu dulu, bukankah semuanya sudah usai? Bukankah aku hanyalah bentuk dari masa lalumu? Bukan untuk masa depanmu. Bahkan bisa jadi kamu kini telah benar-benar menghapusku dari kehidupan barumu.

Mengapa harus kamu yang lebih dahulu berlabuh? Mengapa harus kamu yang lebih dahulu membuat rangkaian cerita indah? Mengapa tidak aku dulu? Orang yang kamu tinggalkan tanpa alasan. Orang yang kamu jawab dengan undangan: jelas semua itu meluluh lantahkan pertanyaanku, harapanku, dan juga doaku.

Aku dipaksa untuk menerima kenyataan tanpa harus berkata lagi mengapa?

Aku dipaksa untuk berhenti mencari tanpa ada kata tapi.

Dan aku dipaksa untuk ikhlas, menerima tanpa lagi bertanya sebenarnya mau itu apa?

 Aku dipaksa untuk memeluk semua kenangan itu sendirian.

Dipaksa untuk kembali berjalan meski aku tahu semua tujuan itu telah hilang.

 September kali ini masih saja membunuhku.

Dengan segala kenangan yang berputar-putar menari di kepala.

Aku ingin lari, tapi kenangan itu terus saja membuntuti.

Lantas harus kemana lagi aku melangkah agar semua kenangan ini melebur dan tak tersisa lagi?

Adakah seseorang di sana yang siap membantuku melalui dialog-dialog panjang dan juga langkah-langkah ringan untuk melepaskan beban yang dirasa?

Dimanakah kamu? Bisakah kamu membantuku?

Aku ingin menerima September dengan segala pahit dan urusan-urusan yang tak terselesaikan dengan baik.


Ihat

Share:
My photo
I'm a storyteller who could look back at my life and get a valuable story out of it. I'm trying to figure things out by writing. Welcome to my journey! Please hit me up ihatazmi@gmail.com