When September Called Me


Photo by Francesco Ungaro


Suddenly the time called me…

Setelah dua tahun berlalu mengapa tiba-tiba kenangan buruk di bulan September kembali hadir dan memporak-porandakan seluruh benteng pertahanan yang telah aku bangun dengan susah payah.

Jika September lalu aku bisa berjalan tanpa harus kesakitan mengingatmu lagi, lantas mengapa September kali ini aku harus jatuh ke lubang yang sama? Kembali mengingatmu, kembali mencercamu, kembali lagi menangisimu…

Sudah seharusnya, ya sudah seharusnya aku tak lagi menangisimu saat kembali membuka catatan lama. Membaca setiap ejaan yang kemudian menghidupkan kembali kenangan lama. Aku ingin kembali membencimu, tapi hatiku terlampau lelah. Aku ingin kembali marah, berteriak kepadamu. Tapi buat apa? Toh dengan marahnya aku tak akan membuatmu berpaling darinya begitupun dengan aku yang enggan untuk kembali mengulang bersama lagi.

Aku terus mencari alasan lain. Hingga akhirnya aku sadar, aku masih bertanya-tanya atas kepergianmu yang mendadak dan juga tanpa kejelasan yang jelas. Kamu tak mengakhirinya hanya menyisakan koma yang tak kunjung usai. Alih-alih menyelesaikan kamu malah membuat cerita baru yang kini sudah tak bisa diganggu gugat lagi pemiliknya.

Sadar bahwa sudah seharusnya aku mengikhlaskan koma yang tak kunjung selesai ini. Hanya saja ikhlas tak semudah kata yang terucap, tak semudah tindakan yang harus dilakukan. Aku sadar. Aku perlu dialog-dialog yang lebih panjang lagi untuk benar-benar bisa memulihkan hatiku  dan menyadarkan aku bahwa aku tak perlu lagi mencari alasan ataupun sebab atas kepergianmu yang bak ditelan di bumi.

Karena seperti katamu dulu, bukankah semuanya sudah usai? Bukankah aku hanyalah bentuk dari masa lalumu? Bukan untuk masa depanmu. Bahkan bisa jadi kamu kini telah benar-benar menghapusku dari kehidupan barumu.

Mengapa harus kamu yang lebih dahulu berlabuh? Mengapa harus kamu yang lebih dahulu membuat rangkaian cerita indah? Mengapa tidak aku dulu? Orang yang kamu tinggalkan tanpa alasan. Orang yang kamu jawab dengan undangan: jelas semua itu meluluh lantahkan pertanyaanku, harapanku, dan juga doaku.

Aku dipaksa untuk menerima kenyataan tanpa harus berkata lagi mengapa?

Aku dipaksa untuk berhenti mencari tanpa ada kata tapi.

Dan aku dipaksa untuk ikhlas, menerima tanpa lagi bertanya sebenarnya mau itu apa?

 Aku dipaksa untuk memeluk semua kenangan itu sendirian.

Dipaksa untuk kembali berjalan meski aku tahu semua tujuan itu telah hilang.

 September kali ini masih saja membunuhku.

Dengan segala kenangan yang berputar-putar menari di kepala.

Aku ingin lari, tapi kenangan itu terus saja membuntuti.

Lantas harus kemana lagi aku melangkah agar semua kenangan ini melebur dan tak tersisa lagi?

Adakah seseorang di sana yang siap membantuku melalui dialog-dialog panjang dan juga langkah-langkah ringan untuk melepaskan beban yang dirasa?

Dimanakah kamu? Bisakah kamu membantuku?

Aku ingin menerima September dengan segala pahit dan urusan-urusan yang tak terselesaikan dengan baik.


Ihat

0 Comments