I Congratulate Myself

 

Foto oleh Nugroho Wahyu


Dear myself,

Di tengah gempuran media sosial yang serba memperlihatkan pencapaian

Terima kasih karena kamu telah memilih untuk senantiasa bersyukur seraya berusaha kembali sesuai dengan jalanmu sendiri

Terima kasih karena telah belajar untuk tidak lagi membanding-bandingkan dirimu dengan yang lain karena kamu tahu itu amatlah sangat tidak sepadan.


Dear myself,

Terima kasih karena selalu berusaha untuk berbaik sangka atas ketetapan-Nya dalam hidup ini

Belajar untuk menahan amarah di saat semua keadaan tidak sesuai dengan harapan

Walau sekuat tenaga kamu harus mengelus dada, beristighfar, seraya berkata: "You're gonna be ok. Don't worry."


Dear myself,

Terima kasih karena telah memilih bertahan serta menghadapi segala situasi yang datang daripada menyerah lantas melarikan diri

Terima kasih karena masih mau berjalan walau tertatih kesakitan

Maaf jika fikiran jahat itu masih saja menghantui, membuat tidurmu tak nyaman, atau membuat awal harimu menjadi awan kelabu 

Maaf jika aku masih belum bisa membuatmu baik, membuatmu bahagia lebih banyak dari yang seharusnya. 


Tolong jangan tinggalkan aku

Mari hadapi semua rintangan ini bersama

Semoga aku bisa lebih baik lagi dalam memperlakukanmu


Selamat bertumbuh setiap harinya

Bukan karena perayaan setahun sekali

Tapi memang aku harus merayakan pencapaian kecilku setiap harinya

Mengapresiasi serta mengevaluasi tanpa dilebih-lebihkan dari ke duanya

Karena setiap yang hadir dalam hidup ini bersifat sementara

Atau bahkan tak sesuai dengan apa yang sudah direncanakan


Tuhanku

Tolong bantu aku untuk bisa mencintai diriku sendiri sepenuhnya

Untuk menyayangi diriku sendiri tanpa harus lagi ketakutan dengan fikiran buruk yang kerap menghantui

Ajari aku dan bimbing aku agar senantiasa legowo, percaya, dan menerima segala putusan yang telah Kau tulis untukku

Tolong jangan biarkan aku menjadi hamba yang kufur dan selalu berburuk sangka atas rencana-Mu

Aku hanya ingin bahagia baik itu di dunia dan maupun di akhirat.


Love,

Ihat

Share:

Never Afraid If You Leave Me

Photo by KawaiiArt1980

Kenapa ya orang ini benar-benar bisa membuat perasaanku kacau balau. Bisa tiba-tiba seneng, kesel, benci, marah, kecewa. Hanya saja setiap ada kesempatan untuk bisa berbagi cerita dengan dia, entah kenapa aku selalu merasa bisa menjadi diriku seutuhnya dan juga aku merasa tidak ragu untuk berbagi cerita apapun dengannya.

Rasanya aku bisa tenang walau kadang jawabannya bisa sangat tajam, tapi ya aku sadar semua itu karena dia ingin menyampaikan realita yang ada. 

Meski... ya aku tahu dia sudah ada yang memiliki dan perasaan ini rupanya masih mengalir. Aku pernah begitu marah saat mengetahui bahwa dia rupanya sudah ada yang memiliki dambaan hati. Aku kecewa, aku marah, dan aku tidak menerima semua itu. Aku merasa seperti hanya dikasihani, namun setelah aku belajar lagi rupanya aku tidak marah atas kehadirannya. Justru aku marah kepada diriku sendiri karena mengapa aku begitu mudah untuk jatuh cinta.

Kini, aku hanya perlu menikmatinya saja. Tak perlu lagi marah kepada diri sendiri juga sih. Bukankah perasaan yang hadir itu merupakan suatu anugrah dari Allah? Dan aku tidak akan merasakan perasaan itu kalau Allah sendiri yang mengizinkannya bukan? Aku tidak merasa takut lagi kalau memang pada akhirnya kamu hanya singgah dalam kehidupanku.

Kehadiranmu dalam hidupku sudah sangat ku syukuri.

Maaf jika kemarin aku sempat marah

Maaf jika kemarin pun aku sempat merasa kecewa

Itu semua bukan karena kehadiranmu kok

Tapi ternyata ya karena aku udah menyimpan harapan duluan sama kamu

Sehat selalu orang baik :)

Terima kasih karena selalu hadir dan mendengarkan ceritaku. 


Cause there's something in the way you look at me

It's as if my heart knows you're the missing piece

You make me believe that there's nothing in this world I can't be

I never know what you see

But there's something in the way you look at me

(The Way You Look at Me - Christian Bautista)


Love

Ihat


Share:

Tentang Bapak dan Sepeda Onthel

Photo by Wallace Silva

Dear Diri Kecil,

Hi, kamu apa kabar? Ini aku dari masa depan, dari sosok dewasamu. Dari kemarin berseliweran terus ya, tentang bapak yang membonceng anak perempuannya. Bahkan sampai viral video seorang ayah di Jember menjual anak ODGJ jadi PSK, dengan video sedang dibonceng ayahnya menggunakan sepeda onthel. Kamu menangis, ketrigger gara-gara sepeda onthelnya kan? Kamu lagi kangen bapak ya? 

Aku tahu, bapak baik. Cuma bapak dulu emosian aja. Apalagi kalau udah ditekan sana-sini. Dan ya, aku yang selalu jadi sasaran amukannya. 

Aku inget banget, dulu waktu aku kecil aku juga sering dibonceng bapak naik sepeda onthel. Malam-malam, kemudian mamah hanya bisa mendorong dari belakang sepeda sambil berjalan. Rasanya waktu itu aku ingin turun saja, menemani mamah berjalan. Tapi aku belum faham, aku hanya duduk diam di atas jok belakang sepeda dengan perasaan yang memang aku tidak suka karena mamah harus berjalan cepat sembari memegang jok belakang sepeda dan sepeda tetap dikayuh bapak. 

Setiap berangkat sekolah TK, kalau tidak berjalan kaki sendirian ya diantar bapak naik sepeda. Bahkan kalau bapak mau mengecek barang dagangan keripik ke toko-toko atau minimarket terkadang aku selalu ngeyel ingin ikut. Sampai suatu ketika aku naik ke jok belakang sepeda itu terlalu kencang membuat miss-V aku sakit dan aku duduk sembari menahan rasa sakit itu. Apalagi tiap pipis, sakit banget. Aku gak berani bilang ke mamah atau bapak pada saat itu, karena aku takut dimarahi.

Atau aku harus melihat sendiri bapak yang tiap kali mau berangkat untuk mengecek barang dagangan ke toko atau ke minimarket dengan dus besar diletakkan di jok belakang sepeda kemudian diikat dengan karet panjang berwarna hitam agar tidak jatuh.

Sepeda itu pula yang dulu kadang membuat aku gengsi. Di saat teman-temanku yang lain sudah diantar menggunakan motor.

Tapi sungguh, aku bersyukur aras moment itu. Hanya aku yang merasakan moment itu paling lama dibandingkan adik-adikku yang lain. 

Setiap kali aku dibonceng bapak naik sepeda onthelnya itu, bapak selalu bilang,

"Nyepengan sing kuat." (Pegangan yang kuat).

"Kahade, sampeanna bisi lebet kana ruji." (Hati-hati, kakinya takut masuk jari-jari ban).

Atau kalau misalkan menemukan lubang di jalan, kemudian tanpa sengaja bapak melewatinya lalu aku menjerit, 

"Aw.."

"Nyeri henteu?" (Sakit enggak?)

Aku selalu bersyukur atas moment itu.  Di tengah kesulitan ekonomi, di tengah kendaraan motor yang pada saat itu masih menjadi barang mewah dan bisa dijadikan ajang pamer, Allah melalui bapak mengajarkan aku tentang arti kesederhanaan dan "kemewahan" versi-Nya. 

Dan kini, acap kali melihat bapak-bapak menggunakan sepeda onthel, rasanya aku jadi ingat bapak. Ingin sekali memeluknya pada saat itu juga dan mengatakan,

Terima kasih telah memberiku kenangan indah, yang berbeda dari yang lain.

Terima kasih karena dulu telah memilih hidup dalam kesederhanaan saar kemewahan mulai datang membanjiri dan orang-orang justru malah memaksakan diri.

I'm so proud of being your daughter. 

Kalau ada kesempatan, aku ingin mengulang kembali dibonceng bapak naik sepeda onthel. Mungkin nanti giliran aku yang bonceng bapak :)


Love,

Ihat


Share:

Yang Ku Kira Beda, Ternyata Sama Saja!


Photo by Strange Happenings

Sungguh, sulit bagi aku untuk bisa kembali membuka pintu hati. Sengaja semuanya sudah kubentengi tinggi-tinggi agar tak ada yang bisa menembus benteng pertahananku. Aku sudah muak dikasihani kemudian ditemani hingga akhirnya ditinggalkan karena memang dari awal bukan aku orang yang selama ini mereka cari.

Hingga hari yang tak terduga itu tiba. Seseorang datang, mulai mengganggu konsentrasi dan juga fokusku. Gerak-geriknya yang mencurigakan kerap kali menimbulkan pertanyaan. Meski prasangka-prasangka selalu aku tepis tapi kenyataan justru tidak membantah. Itu benar adanya. 

Percakapan-percakapan mulai tercipta sampai akhirnya ada di satu titik di mana dia memborbardir benteng pertahananku dengan kalimat-kalimat yang memilukan dan aku benci kalimat-kalimat itu. Kalimat-kalimat yang terus-menerus merobohkan benteng pertahananku hingga akhirnya benteng itu roboh, hancur. Dan begitu mudahnya aku membiarkannya masuk ke dalam hati dan fikiranku yang kacau balau berantakan. 

Dia mulai merapikannya dengan perlahan. Tanpa paksaan dan juga penghakiman membuatku hanyut akan perlakuan baiknya. Tatapannya, sikap tubuhnya yang tak pernah berpaling ke arah lain. Telinga dan fokusnya tetap ditujukan padaku begitu kisah menyedihkan itu kembali terucap dari bibirku walau terkadang kelu untuk bisa tercuap dan dia selalu membantu untuk melengkapinya. 

Sikapnya yang terkadang manis atau berlebihan selalu membuatku mengerutkan kening. Maksudnya apa ya? Oh atau jangan-jangan akunya aja yang gr duluan

Sampai kebenaran itu terungkap. Dia hanya sekedar ingin membantu tanpa bermaksud membuatku jatuh. Dan aku malah terperosok ke dalam jurang sendirian. 

Aku yang pada awalnya mencoba membuka diri, berharap ini takkan menyakiti justru rasanya semakin membuatku tak percaya lagi pada siapaun nanti yang akan datang. 

Setelah kejadian ini, aku tak ingin membuka diri lagi. Aku tak mau lagi membagikan kisah kelamku pada siapun yang nantinya mencoba untuk menorobos masuk lagi. Karena apa? Pada intinya aku hanya dikasihani saja. Dan aku tak suka dikasihani!

Aku yang belajar kembali membuka pintu hati, rupanya bukan aku yang dicari. 

Miris, kecewa, marah, benci, kesal.

Semua perasaan itu bercampur aduk.  

Tuhan aku benar-benar menyerah kali ini.


Ihat


Share:

Kenyataannya Tak Semenakutkan Itu Kok!

canva.com

Ada yang berbeda dari momen lebaran tahun ini. Padahal jauh-jauh hari sebelum hari perayaan tiba, fikiranku sudah melayang-layang entah berantah mengenai pertanyaan-pertanyaan yang memojokan. Suasana salat Ied yang biasa saja karena ustadnya tidak pernah berganti setiap tahunnya selalu itu-itu saja, membuatku tidak begitu excited untuk merayakannya. Ditambah kumpul bersama keluarga besar adalah hal yang kurang aku sukai. 

Tetapi semua itu jelas berbeda pada saat hari H pelaksanaan. Pertama, saat aku memilih untuk salah Ied di tempat sebelah, tidak di masjid seperti biasa pada tahun sebelum-sebelumnya dan berhasil membujuk Ibu untuk ikut meski wajah Ibu sudah manyun karena tidak bisa bertemu dengan tetangga dekatnya sesuai salat, akhirnya Ibu setuju untuk ikut salat Ied di tempat yang aku pilih. Begitupun dengan Bapak yang langsung ikut. Pada saat pelaksanaan salat, Imam seperti biasa membacakan surat Al-Fatihah dan surat pilihan lainnya didzaharkan. Dan sungguh bacaannya begitu terdengar indah di telinga. Rasanya ingin berlama-lama salat dengan imam ini. Begitu salat selesai, wah ternyata hampir seluruh jemaat yang hadir membicarakan si imam tersebut. Ditambah wajah imam tersebut masha allah, ganteng. Hahahaa. Ibuku bahkan sampai bilang, "Serasa salat di Mekah." Dan Ibuku justru malah bersyukur ikut aku untuk salat Ied di tempat pilihanku. 

Kedua, pada saat maaf-maafan dengan orang tua. Biasanya tahun-tahun sebelumnya tidak banyak kata yang keluar dari mulut Ibu atau Bapak pada saat aku mengucapkan permintaan maaf. Paling hanya dijawab, "Iya, dimaafkan." Kemudian disusul doa. Dan akupun hanya mencium tangan keduanya saja, tidak sambil berpelukan. Tapi tahun ini, entah kenapa pada saat proses maaf-memaafkan itu aku mencium tangan kedua orang tuaku kemudian memeluknya. Ada perasaan sesak begitu aku memeluk Bapak untuk pertama kalinya.

"Maafin Bapak ya Hat, kalau sampai saat ini Bapak belum bisa bikin kamu bahagia. Maafin Bapak dulu galak, kasar, suka ngebentak. Mudah-mudahan nanti dapet jodonya yang sayang sama Ihat."

Deg!

Ditambah Bapak bilang begitu sambil terisak ya sudahlah air mataku tumpah ruah dipelukan Bapak. Rasanya perkataan itu adalah perkataan yang baru kali ini Bapak sampaikan ke aku. Hatiku merasa tenang mendengarnya, sosok anak kecil dalam diriku menangis terharu. Ucapan itu yang selama ini dinantinya akhirnya tiba juga. Anak kecil itu rupanya sudah lebih dulu memaafkan dan permintaan maaf itu akhirnya tiba untuk dirinya dan dia menangis kegirangan. 

Setelah itu akupun meminta maaf pada Ibu sambil memeluk. Ini rutin aku lakukan dari lebaran tahun lalu. Karena memang, pelukan antar sesama anggota keluarga di keluarga kami masih terasa kaku dan asing. Tangis pun tumpah dipelukan Ibu. Selepas saling memaafkan, Ibupun mendoakan hal yang sama seperti apa yang Bapak doakan. 

Dilanjut dengan saling memaafkan bersama adek-adek tersayang, kami melakukan foto bersama di halaman depan rumah. 

Kemudian kami pergi ke rumah saudara kami yang lain yang tempatnya tidak jauh dan bisa ditempuh dengan jalan kaki. Begitu sampai kami langsung saling maaf-memaafkan. Lucu, sedih, dan terharu perasaan itu berkecamuk begitu Kakak sepupu bilang, "Mudah-mudahn segera dapet jodoh yang baik, sayang sama Ihat." Lalu dilanjut dengan pertanyaan, "Tapi Ihat udah punya pacar?" Aku melepas pelukannya menggelengkan kepala di sela-sela isak tangis dengan bibir manyun. 

Tidak ada pertanyaan yang menyinggung, semua justru berisi doa dan harapan. Dan aku merasa aman pada saat itu. 

Terkadang fikiran kita jauh lebih jahat ya daripada kenyataan sebenarnya. Dari sanalah aku harus belajar lagi untuk menata ulang fikiranku agar bisa menjauh dari fikiran-fikiran negatif. Aku jadi ingat sebuah hadits qudsi yang berbunyi bahwa Allah bersama prasangka hambanya. 

"Aku selalu menuruti persangkaan hamba-Ku kepada-Ku. Apabila ia berprasangka baik maka ia akan mendapatkan kebaikan. Dan apabila dia berprasangka buruk kepada-Ku maka ia akan mendapatkan keburukan." (HR. Thabrani dan Ibnu Hibban)

Ya Allah, maafkan atas fikiran-fikiran negatifku selama ini. Ternyata kenyataan yang ada tidak semenakutkan yang difikirkan. Terima kasih karena masih diberi kesempatan untuk bisa merayakan lebaran bersama orang-orang yang disayang. 

Sekali lagi, selamat berlebaran semua!


Love,

Ihat


Share:

Berlibur di Kampung Halaman

Gambar oleh Stefan Schweihofer dari Pixabay

Tahun ini merupakan tahun ke dua bagi aku untuk bisa kembali merasakan mudik lebaran. Meski jaraknya tidak sejauh harus melintas pulau, tapi aku bersyukur bisa diberi kesempatan untuk merasakan mudik lebaran antar kota. Merasakan berburu tiket diawal-awal bulan Ramadan kemarin, hingga terpaksa harus memilih pulang lebih dahulu dikarenakan tiket kereta untuk tanggal-tanggal tersebut sudah sold out.

Selama di kampung halaman sendiri ini lah, entah mengapa aku lebih excited ketika berburu takjil bersama adikku. Semua jajanan bisa saja dibeli jika aku tak bisa menahana nafsuku. Berbeda sekali ketika di tempat perantauan. Sudahlah memang tinggal sendiri, sensasi untuk berburu takjil biasa saja. Dalam fikiran yang penting cukup untuk berbuka dan sahur. Padahal, sewaktu berangkat aku sudah berniat akan irit ketika tiba di kampung halaman. Nyatanya tidak. 

Meski tidak pergi ke tempat wisata, pergi hanya untuk berburu takjil misalnya itu sudah cukup bagiku. Mengapa? Karena jalanan menuju tempat jualan itu adalah jalanan yang dulu sering aku lewati ketika aku duduk di bangku SD. Melewati jalanan sawah yang kini sudah mulai agak berubah karena sudah mulai banyak bangunan yang dibangun. Setiap kali melewatinya memori indah dahulu kembali mendadak hadir. Kemudian melihat para penjual dagangan itu yang tak lain kebanyakan mereka adalah penjual makanan dahulu ketika aku masih SD. Roda-roda yang digunakan tidak jauh beda warnanya. Hanya saja wajah-wajah mereka sudah mulai terlihat tua seiring waktu berjalan. 

Betul, pulang ke kampung halaman justru membuat aku banyak merenung atas hal-hal yang dahulu pernah aku lewati. Saat melewati sungai, aku teringat bahwa aku pernah terjatuh ke sungai itu sebanyak 3 kali. Saat melewati masjid dekat rumah, aku ingat betapa nakalnya aku dulu saat salat tarawih. Di saat Ibu-ibu yang lain sedang menjalankan salat dengan khusyu, aku dan teman-temanku yang lain malah kabur untuk jajan. Kemudian kembali lagi pada saat salat witir. Membuat beberapa Ibu-ibu komat-kamit mengomel kesal melihat kelakuan kami.

Aku tersenyum acap kali melewati jalanan-jalanan tersebut. Sejenak sebelum mentari terbenam di ufuk barat, aku memeluk diriku sendiri. Berterima kasih atas masa-masa yang pernah aku lalui di sini hingga akhirnya mengantarkan aku ke tempat perantauanku sekarang. Berterima kasih karena tetap berjuang dan tidak menyerah meski keadaaan kerap kali menguji mimpi yang kata orang mustahil untuk diraih. Berterima kasih karena kini rupanya aku bisa memaknai kata berlibur. Bahwa berlibur bukan serta merta kamu bisa pergi ke tempat wisata, tapi bagiku berlibur adalah bagaimana kamu menghargai setiap moment yang kamu miliki sehingga ketika waktunya sudah usai kamu sudah bisa kembali beraktifitas dengan energi baru. 

Selamat berlibur, selamat berkumpul dengan keluarga. 


with love,

Ihat   


Share:

Ngabuburit Bareng di Tahura!


Awalnya diajak hanya untuk mendapatkan tiket gratis akses masuk ke Tahura dan waktu itu juga berbarengan dengan keinginan aku yang terbersit dalam hati: I wanna be more productive in this Ramadan.

And buum! Allah gives it to you more than you expect before.

Sesederhana itu, receh emang tapi experiencenya unforgettable!



Dengan iming-iming tiket gratis masuk Tahura pada saat itu, tanpa berfikir panjang aku langsung pergi. Dan ternyata oh ternyata di sana aku malah diajak untuk bergabung menjadi volunteer Pine Landas Bina Tahura di event Ramadan. Lucunya, aku malah mengajukan diri untuk menulis proposal kegiatan itu sendiri. Demi apa, aku juga bengong sama diri ini yang impulsif! :D

Ok, yang belum tahu Pine Landas Bina Tahura itu sendiri, let me share you a little bit about this community. Dilansir dari akun Instagramnya @pinelandasbina_tahura, Pine Landas Bina Tahura adalah pengabdian kepada masyarakat yang dinaungi Tahura Ir. Djuanda yang bergerak di bidang pendidikan dan kebudayaan di wilayah Tahura. Adapun bidang yang diajarkan adalah lingkungan, pendidikan karakter, mata pelajaran, dan kebudaan. 

Setelah hampir kurleb satu bulan mempersiapkan acara ini, dari mulai dag-dig-dug seer soal dana yang masuk sedikit, tetap meluangkan waktu untuk meeting di sela-sela kesibukan kami masing-masing, but Allah made it easy for us. Gak tahu kenapa, tiba-tiba aja banyak donatur yang support, teman-teman volunteers yang super-duper baik meski kita berbeda keyakinan tapi mereka really appreciated and supported us during fasting. 

Dan alhamdulillah acaranya berjalan lancar! Sabtu, 30 Maret 2024 pukul 12.00 WIB-18.00 WIB bertempat di Holland Spot dan lapangan depan Gua Belanda Tahura , acara ini kami beri nama "Berbagi Berkah Ramadan 1445 H" dengan tema "Sharing is Caring." Adapun acaranya diantaranya lomba menggambar untuk anak TK sampai SD kelas 4, lomba menggambar dan mewarnai untuk anak SD kelas 5 & 6, dan lomba menggambar untuk anak SMP kelas 7-9. Jumlah pesertanya itu sendiri yang tadinya hanya dianggarkan sebanyak 120 anak pada realisasinya kami mendapatkan kurang lebih 200 anak yang ikut hadir. Pesertanya sendiri ini berasal dari daerah sekitaran Tahura. Setelah acara inti selesai dilaksanakan, acara pun berlanjut dengan evaluasi dan ifthar gathering yang dilaksanakan di Holland Spot. 



Ada rasa haru dan bahagia yang menyelimuti begitu melihat antusias anak-anak pada saat mengikuti event ini. Mata mereka yang berbinar saat mendapatkan hadiah, menyanyikan yal-yel. Qadarullahnya aku bertemu dengan sepasang anak kembar berkebutuhan khusus sementara ke dua anak ini ditempatkan di kelompok yang berbeda. Sang Ibu kebingungan karena tidak bisa menemani kedua anaknya secara bersamaan, kemudian dengan senang hati aku mencoba membantu si Ibu tersebut. Aku memapah salah satu anak itu, anaknya bernama Danil. Dia bersemangat sekali selama mengikuti kegiatan ini. Sesekali dia melihat ke arahku saat ada perintah intruksi untuk pindah tempat kemudian aku membantunya, setelah itu dia mengucapkan terima kasih berkali-kali sambil mengangguk-anggukan kepalanya. Entah mengapa, rasanya setelah ikut membantu Danil perasaan senang dan tenang menyusup ke dalam hati. Semoga di lain kesempatan kita bisa bertemu lagi ya.

Satu pelajaran yang bisa aku petik selama event ini berlangsung adalah kamu tidak harus menunggu sempurna untuk bisa membantu orang lain dan percayakan rencana baikmu pada Allah biar Allah yang atur semuanya. 

Semoga di lain kesempatan kita bisa bersama kembali untuk menebar kebaikan kepada sesama! The last, big thanks to all of the people who supported  our event. May Allah bless yourlife!


Cheers,

Ihat

Share:

Is That You?

Photo by Mathew Thomas

Ada hal yang ingin kusampaikan, tanpa perlu dihakimi cukup difahami. Tanpa disela cukup sediakan telinga, tanpa kata henti lantas pergi meninggalkan diri yang masih berceloteh sendiri. 

Aku tersenyum saat yang ku pinta ternyata berubah wujud menjadi ada dan nyata. Yang semula hanya ada dalam imajinasi dan ilusi ciptaan khayalan sendiri. Kini aku merasa tak sendiri, ada Tuhan yang menemani melalui perantara ciptaan-Nya.

Darinya aku belajar bahwa segala yang terjadi adalah atas kehendak dan juga izin-Nya. Darinya aku belajar bahwa aku tak perlu berekspektasi terhadap apapun, cukup fokus terhadap apa yang kamu miliki dan hadapi saat ini. Darinya aku belajar untuk mengapresiasi diri. Darinya aku belajar bahwa sesakit apapun kamu hidup akan terus berjalan. 

Dan aku bersyukur di tengah upayaku untuk bisa berdamai dengan masa lalu, diri sendiri, mencintai diri sendiri, Tuhan kirim ciptaan-Nya untuk membimbingku agar bisa keluar dari jalan yang gelap. Kamu yang menuntunku dengan sabar, tak pernah mencela cukup memberiku kekuatan baru untuk menghadapi hidup ini. 

Meski aku tak pernah tau, di persimpangan mana kamu akan melepaskan genggamanmu aku harap aku bisa berjalan sendiri sambil tersenyum seraya melambaikan tangan dengan ucapan terima kasih dan selamat tinggal. Kalaupun kamu ditakdirkan untuk terus menemaniku, aku akan sangat bersyukur atas hal itu. 

Aku tak perlu berharap lebih padamu, yang jelas jika takdir memang sudah menuliskannya sepertinya kita akan selalu berjumpa di tempat yang tak pernah kita diskusikan sebelumnya. Atau obrolan panjang yang membuat kita bisa mengenal satu sama lain. 

Dan entah mengapa hati ini selalu yakin bahwa kamu adalah orangnya. 


Love,

Ihat

Share:

What are You Looking for?

Photo by Gül Işık

Satu bulan yang lalu, aku benar-benar struggle dengan diriku sendiri. Aku malas pergi bekerja, malas bertemu dengan anak-anak, malas berinteraksi dengan orang-orang, maunya ya diam sendiri di kosan. Malas makan, malas mengurus diri, ruangan hampir seperti kapal pecah, maunya tidur seharian. Aku kira perasaan-perasaan malas ini karena aku akan haid tapi sepertinya bukan. Emosiku tak karuan, mood swing. Di sekolah tertawa terbahak-bahak tapi setelah itu aku akan daydream sendirian. Pulang-pulang sampai di kosan bengong, bahkan yang paling parah adalah aku malas salat dan mengaji. Begitu malam datang, perasaan aku berubah. Aku ingin menangis tapi aku bingung apa yang harus aku tangisi. Ingin berteriak tapi takut menganggu tetangga. Ingin marah tapi aku juga bingung hal apa yang sebenarnya membuat aku marah. Selama hampir dua minggu berturut-turut perasaan aku kacau. Dua orang temanku yang menyadari ada sesuatu yang tak beres dengan diriku mulai menanyai perasaanku secara perlahan. 

"Kamu apa kabar? Sehat?"

Pertanyaan yang dilontarkan oleh temanku entah mengapa terdengar sangat menusuk. 

"Alhamdulillah baik." Jawabku bohong dan menghindar tatapan matanya. 

"Oh baik ya," timpalnya lagi membuat aku membuang nafas kesal. Aku tahu dia menyadari sesuatu atas diriku. 

"Tapi akhir-akhir ini kok keliatannya murung," sambungnya lagi membuatku kesal.

"Enggak kok, aku baik-baik aja." Jawabku agak meninggi sambil memalingkan muka dari wajahnya. Sungguh aku benci saat orang lain mulai peduli dengan diriku. Buat apa peduli? Cuma pengen tahu keadaanku aja kan? Habis itu kalian gak benar-benar peduli tentang aku?!

Fikiranku saat itu berkecamuk. Rasanya sulit untuk bisa percaya pada orang lain. Alih-alih percaya kepada orang lain, aku pun mulai kehilangan kepercayaan pada diriku sendiri. Sulit bagi aku untuk bisa jujur atas perasaanku sendiri. Aku mulai denial dengan perasaan apapun yang datang. Dan saat itu aku memilih untuk menutup hati dan membiarkan perasaan-perasaan aneh yang menyusup itu menggedor-gedor pintu hatiku. 

Semakin aku menguncinya rapat, semakin aku denial dengan perasaan yang hadir, dan aku malah lari dari hal yang seharusnya aku hadapi dan aku terima akhirnya aku kewalahan sendiri. Topeng yang selama ini aku gunakan rupanya sudah tidak bisa lagi menutupi dengan baik. Tawaku sudah semakin terdengar mengerikan di telinga orang-orang yang bisa mendengarkan. Senyumku terlihat menyedihkan di mata orang-orang yang benar-benar bisa melihat. Ceritaku sudah seperti kaset butut yang tak lagi bisa disimak dengan baik. 

Hari itu aku ingin menyerah, rasanya aku ingin tidur selamanya.

Namun pertolongan Allah datang melalui permasalahan yang menimpa anak didikku. Niat awal aku bertemu dengan psikolog sekolah adalah aku hanya ingin meminta bantuan untuk menghadapi anak didikku ini. Alih-alih membahas anak didikku sendiri rupanya tanpa sadar aku membuka pembicaraan mengenai diriku sendiri.

Tangisku tumpah, dadaku sesak, dan aku menangis kesakitan. Perasaan-perasaan yang selama ini aku tahan dan dibiarkan menggedor-gedor di depan pintu hati akhirnya meledak dengan sendirinya. Fikiran-fikiran hitam dan chaos kembali memenuhi isi kepala.  

Aku sudah ditahap frustasi rupanya. 

Rasa sakit atas pengabaian di masa kecil, penolakan, jarang diapresiasi dan dihargai, selalu mendahului kepentingan orang lain, teriakan yang memilukan, bullying verbal, disalahkan, dikambing hitamkan, ditinggalkan, dihakimi. 

Semuanya kembali bermain dalam satu waktu dan pada saat keadaan sekarang ini justru memperlakukanku dengan baik, ada perasaan haus untuk mendapatkan apa yang selama ini belum pernah aku dapatkan dan perasaan ragu serta curiga, apakah mereka tulus? Atau mereka hanya berpura-pura? 

Setelah sesi konseling itu, perlahan aku mulai belajar memaafkan diriku seutuhnya. Mungkin aku sudah memaafkan orang lain, tapi ternyata aku belum memaafkan diriku sendiri. Aku belum memeluk sosok kecil dalam diriku yang selama ini selalu hadir, belum menyampaikan bahwa kamu tak usah menyalahkan dirimu sendiri atas hal yang terjadi di masa lalu. Orang tua sudah meminta maaf bukan? Dan kamu sudah tak membenci mereka bukan? Apalagi mereka memperlakukanmu dengan baik pada saat ini. Di saat usia mereka sudah senja, di saat waktu kita dengan mereka sudah tak lagi banyak. 

Aku kira proses memaafkan diri sendiri dan menerima hal yang pernah terjadi itu mudah ya, ternyata tidak. Aku memulai proses memaafkan diriku sendiri dengan kembali menulis di buku harian. Sungguh, perasaan itu sesak saat diketuk bahkan aku sendiri tak bisa memaksa diri aku sendiri untuk bercerita. Semakin digali semakin sakit. Pada saat itu aku menghubungi psikolog sekolah melalui pesan pribadi. Beliau bilang tak usah dipaksa, ajak ngobrolnya senyamannya. 

Lalu aku berfikir, buat apa terburu-buru untuk menyembuhkannya? Buat apa? Bukankah rasa sakit juga harus dirasakan dan diterima ya? Jangan ditolak?

Sampai suatu hari, temanku berkata seperti ini melalui pesan pribadi.


Kamu kemarin parah banget sih. Harusnya kalau mau nangis ya nangis aja. 

Kayak pengen bilang, ayo dong nangis. Gak apa-apa terlihat lemah juga.


Deg!

Sejenak aku membiarkan pesan itu terbuka, perlahan rasa kesal dan marah muncul dalam hati. 

Ngapain sih ni orang? Dia kan gak tahu apa-apa soal aku? Kenapa dia jadi sok tahu?


Jujur, aku marah. Aku marah sekali. Kenapa? Karena aku merasa dia sudah berhasil menghancurkan benteng pertahananku dan memporak-porandakan isi hatiku. Aku menangis pada saat itu. Alih-alih bersyukur karena rupanya ada orang yang peduli, ini malah marah dan tidak terima. 

Aku membalas pesan-pesannya itu dengan emot tertawa, atau sekedar hahahahah, wkwkwk padahal sungguh hatiku sudah ketar-ketir. Seolah dia mengetahui tempat persembunyianku selama ini. Butuh waktu untuk bisa menerima bahwa aku itu bukan robot, aku tuh manusia. Jadi kalau terlihat sedih, lemah, gak bisa, ya gak apa-apa. 


Yaahh maybe this is my turn to heal myself. Karena buat sembuhin diri sendiri kan tanggung jawab diri sendiri. Aku gak mau nanti malah jadi beban buat orang lain. Bersyukur masih dikasih kesempatan buat sembuhin diri sendiri dan bertemu orang-orang baik dan juga support. 

Kataku kemudian pada akhirnya.


Tapi gak bisa sih kalau sendiri. 

Aku jamin.

Nanti ada aja orang yang bantu.

Magical emang.

Banyak orang yang datang dan pergi dalam prosesnya.


Ok, wait and see ya. 


Jawabku pendek dengan perasaan tidak percaya. Padahal kalau difikir-fikir dengan kehadiran psikolog di sekolah saja itu sudah sangat membantuku. Bukankah pada saat aku datang aku tidak berniat untuk menceritakan soal pribadiku?

Tak lama pesan dari orang tua datang yang tak biasanya menanyaiku tentang aktifitasku yang membuat hatiku senang sekali. Kemudian tiba-tiba ada kegiatan mengenai mental health yang diisi oleh psikolog sekolah dan pada saat itu beliau bilang you don't have to be a superman. Kamu manusia kan bukan robot?

Aku terdiam, teringat pesanmu beberapa hari lalu. Ini bukan suatu kebetulan bukan? Seperti yang kamu bilang bahwa pada saat prosesnya aku akan menemui people come and go? Mungkin kamu juga adalah salah satunya.

Kemudian ketika kegiatan city mapping bersama anak-anak, beberapa tempat yang dikunjungi seolah memberiku sebuah nasihat. Di tempat pertama, si Bapaknya bilang ya namanya hidup pasti ada ujiannya, ada susahnya. Mau di manapun itu. Kemudian di tempat makan, aku lupa dengan tulisannya yang terpampang tapi jelas itu sedikit menamparku. 

Lalu selang beberapa hari pada saat discuss materi tentang slow and fast, ada satu sesi di mana tutorku bilang gini, slow makes you focus on what you do.

Aku terdiam kembali dan merasa tertampar. Buat apa do the things on the double? Mau ngejar apa? Biar sama kayak orang-orang dan dipandang berhasil? Terus kalau misal posisi kamu saat ini masih di angka satu dan orang lain sudah di angka lima kamu akan marah sama diri kamu sendiri? Bukankah sudah cukup ya luka lama saja masih belum terobati? 

Why don't you walk at a snail's pace? Bukankah kalau kamu pengen menuju 5 kamu harus melewati angka 2,3 dan 4 dari garis kamu yang saat ini masih ada di angka 1? Bukankah setiap orang itu berbeda ya garis mulainya? Kenapa harus membandingkan dengan kehidupan orang lain lalu kembali menyalahkan dirimu sendiri saat kamu merasa gagal?

Kalau aku masih lelah, terus membandingkan dengan kehidupan orang lain dan masih belum bisa menerima hal yang pernah terjadi, sepertinya aku harus mengecek kembali peta hidupku. 

Jadi sebenarnya apa yang kamu cari selama ini? Dunia atau akhirat? Pengakuan manusia atau pengakuan Allah? Ridanya manusia atau ridanya Allah?


Dengan segala penuh keresahan,
Ihat



Share:

Yang Kita Lewati tanpa Disadari

Photo by veeterzy

Siang tadi aku memutuskan untuk keluar sejenak mencari udara segar bersama temanku sekalian pergi untuk nugas juga. Begitu di perjalanan rupanya hujan mengguyur tanpa permisi. Aku dan temanku menepi di pom bensin sekalian mengisi bensin juga. Sambil menunggu, sambil mengenakan jas hujan pandanganku terhenti pada sosok Ibu-ibu yang sudah paruh baya sedang menjajakan jualannya. Hatiku terenyuh melihatnya, buliran bening itu sudah mengumpul di pelupuk mata, aku teringat Ibuku di tahun-tahun sebelumnya. Ibuku menjual makanan gorengan dan juga makanan basah tradisional sambil berjalan kaki berkeliling dan mengunjungi rumah-rumah di pagi hari atau di siang hari.  Hingga akhirnya kini bisa berjualan dengan menggunakan roda bersama Bapak, tak perlu berjalan lagi mengunjungi rumah-rumah sambil membawa box dagangan yang terasa berat saat diangkat. Sebelum meninggalkan pom bensin itu, aku melirik sebentar pada si Ibu tersebut sambil berucap dalam hati, semoga dagangannya laris manis dan Ibu tersebut diberikan kesehatan.

Tak cukup sampai di sana, begitu aku dan temanku sampai di caffe tempat tujuan kami, di belakang meja tempat kami duduk datanglah satu keluarga. Ada kakek, seorang Bapak, Ibu kemudian anak-anaknya dan entah siapa lagi. Saat aku melewati mereka untuk mengisi air minum, aku melihat Kakek itu hanya banyak diam. Sementara si bapak malah asyik bermain gadgetnya sepertinya sedang menonton video random di TikTok, lalu anak yang lainnya asyik berbincang bahkan ada juga yang bermain games. Kakek itu terlihat kesepian. Matanya menatap kosong. Sejenak perasaanku menghangat, aku jadi ingat almarhum Kakek ku. Almarhum Kakek yang diusir dari rumahnya sendiri oleh anak-anaknya, lalu tinggal bersama kami satu rumah sebelum akhirnya pergi untuk selama-lamanya. Almarhum Kakek yang selalu bertanya kapan aku pulang, ketika aku masih kerja di Pesantren. Almarhum Kakek yang kadang selalu aku ajak ngobrol dan pertanyaan bodoh yang selalu aku selali sampai saat ini adalah,

"Ki, aki kangen enggak sama Nenek?"  tanyaku terlontar begitu saja dari mulutku. Yang kemudian membuat raut wajah Kakekku  menjadi sendu. Mamah yang saat itu mendengarkan langsung melotot ke arahku. Lalu tak lama Kakekku menjawab,

"Iya atuh, kangen." Jawabnya dengan tatapan kosong menahan rasa rindu. 

Almarhum Kakek yang masih menyebut namaku diakhir hidupnya, meminta bantuanku untuk mengambil air minum namun setelah itu dia pergi untuk selamanya. 

Rasanya aku ingin sekali berada di antara keluarga itu, mengajak ngobrol si Kakek. Bukannya mengajak ya? Lalu didiamkan dan malah asyik sendiri dengan urusan masing-masing. Lantas tujuannya apa sih ngajak makan bareng keluarga ke sebuah caffe tapi pada akhirnya masih sibuk dengan urusan masing-masing? Aku suka jadi inget kalau lagi kumpul di rumah, Mamah pasti suka ngomel-ngomel kalau kita malah jadi asing karena sibuk dengan handphone sendiri. 

Lalu sebelum pulang, ketika berjalan ke arah parkiran aku melihat seorang Bapak-bapak sedang mengajari anak perempuan kecil mengaji di mushola tersebut. Anak perempuan itu menggunakan mukena, alih-alih melihat Al-Qur'an entah Iqra karena aku tak terlalu jelas melihatnya, dia malah menatap wajah Bapak tersebut. Aku tersenyum, teringat aku ketika kecil dulu, karena takut dimarahi ya jadi yang dilihat adalah wajah Bapak bukan Iqranya. 

Ngomel-ngomel karena helmet lupa tidak diamankan, lalu basah temanku malah menanggapinya dengan santai,

"Ya gak apa-apa atuh, hujan kan air ini. Ehh, jangan-jangan yang aku juga basah." 

Dan ternyata benar, helmet kami berdua basah. 

"Inget, sakit itu ada difikiran kamu. Meski helmetnya basah, fikirannya harus tetap afirmasi sehat." 

Ada banyak hal-hal istimewa di luar sana yang kita lewatkan begitu saja.  Kadang kita terlalu fokus pada sebuah pencapaian, kesuksesan, ketenaran dan melupakan hal-hal yang ada di sekitar ini. Banyak hal yang bisa kita syukuri, alih-alih iri dan juga dengi atas pencapaian orang lain. 

Sekian untuk cerita hari ini.

Love,
Ihat

Share:

Ibu: Jangan Pernah Remehkan Perjuangannya!

Photo by Liv Bruce on Unsplash

Enam bulan tinggal di Pesantren sempat membuat saya kehilangan beberapa informasi apalagi informasi dari TV. Maklum di Pesantren kan tidak ada TV. Ya meskipun ada HP tapi tetap saja bagi saya kehadiran TV tidak bisa tergantikan. Beda saja sensasinya gitu, sekalipun menonton acara TV di HP tetap saja rasanya tak sama.

Saat hari libur tiba saya langsung mencoba untuk menonton TV. Memilih channel mana yang asik dijadikan bahan tontonan. Jemari saya begitu saja terhenti saat melihat iklan susu Dancow dengan judul “Bunda Tidak Sempurna, Tapi Cinta #BundaSelaluAda.” Begitu selesai menonton iklan itu entah mengapa hati saya begitu terkoyak.

Saya tahu, Ibu saya bukan orang hebat bahkan beliau banyak sekali kekurangannya. Dulu meski tidak pernah diucapkan dan hanya dipendam sendiri, saya sering membandingkan beliau dengan Ibu teman saya lain. Saya melihat Ibu teman saya lebih fashionable saat mengikuti rapat sehingga mendapatkan pujian dari teman-teman saya. Sementara Ibu saya? Ibu saya hanya berpakaian rapi dan sopan seperti biasa tanpa riasan make up di wajahnya. Kata Ibu pakai bedak saja sudah cukup. Jujur saja saat itu saya iri dengan pujian yang diberikan teman-teman saya kepada Ibu teman saya itu.

Kemudian saat teman saya bilang bahwa Ibunya yang mengetikan modul pembelajaran itu tidak jadi di-fotocopy, saya cuma bisa tersenyum masam dan juga menggerutu dalam hati, iyalah bisa mengetik ulang modul itu sampai rapih orang profesinya juga guru. Lha ibu saya bisa apa?

Lalu saat saya melihat Ibu teman saya yang lain yang bisa menyupir mobil sendiri, berdandan cantik, memiliki jabatan, famous, kembali lagi dalam hati saya berkata, Ibu saya naik sepeda aja masih belajar. Yah enak ya punya Ibu pejabat terus aktif di sosial media gitu. Sweet deh kayaknya. Apa-apa dipost di medsos sama anak-anaknya terus bikin caption yang romantis. Lha Ibu saya? Buat ngetik chat sama sms aja butuh waktu lama. Terus kurang ngerti sama bahasa gaul yang kekinian, kuper lagi.

Dan saya selalu cemburu jika ada Ibu teman saya yang lain yang bisa dekat dengan anaknya, bahkan bisa jadi teman curhat bagi anaknya. Lha saya? Ibu saya pendiam. Tidak banyak bicara, tidak perhatian, tidak penah tahu caranya berdandan apalagi mendandani anaknya. Ibu saya tidak pernah tahu bagaimana anaknya jatuh dan juga patah hati.

Bahkan dengan kurang ajarnya saya, saya sempat mengkhayal kalau saja Ibu saya seperti Ibu si A mungkin tidak akan begini, kalau saja Ibu saya seperti Ibu si B mungkin teman-teman saya akan memujinya, dan sebagainya.

Saya tahu Allah Maha Mendengar. Hingga akhirnya Allah menuntun saya untuk melihat dengan mata saya sendiri bahwa apa yang selama ini saya sesalkan adalah sesutau hal yang salah.

Jika dulu saya menginginkan sosok Ibu yang memiliki jabatan, famous, aktif di medsos, photo bareng sama anaknya dengan caption yang begitu menyentuh. Namun pada faktanya apa? Saya justru menemukan bahwa Ibu tersebut egois dan saat anaknya sakit justru malah minta orang lain untuk mengurusinya. Bahkan tak jarang rela meninggalkan anak dari pada meninggalkan pekerjaannya. Meski saya tahu tidak semuanya begitu namun yang saya temukan saat ini adalah demikian adanya.

Saya langsung teringat dengan Ibu di rumah. Meski dengan tampilan yang sederhana, tidak berpendidikan tinggi, gaptek, namun saat anaknya sakit beliau rela meninggalkan apa saja demi kesembuhan sang anak. Saat kaki saya terluka gegara kena knalpot motor dan sulit untuk berjalan maka saat itu Ibu saya meninggalkan pekerjaannya dan mengantarkan saya ke sekolah dengan cara saya digendong olehnya. Jika mengingat moment ini saya tak kuasa untuk menahan air mata saya.

Kemudian pengorbanan Ibu saya yang lainnya adalah saat saya sakit tifus. Mengantarkan saya ke dokter selepas sholat shubuh, membuatkan bubur untuk saya, meski pada saat itu Ibu saya tidak banyak bicara. Namun saya melihat kekhawatirannya dengan jelas saat saya dinyatakan sakit tifus. Selama perjalanan pulang dari dokter Ibu saya yang biasanya diam justru mengomeli saya habis-habisan dan saya melihat dengan jelas butiran air matanya sudah menumpuk di pelupuk matanya.

Meski Ibu saya tidak berpendidikan tinggi tapi beliau pernah menasehati saya bahwa membawa ilmu kemana-mana tidak akan terasa berat, beda lagi saat kita membawa uang kemana-mana pasti terasa berat. Hal inilah yang memotivasi saya untuk terus mencari ilmu.

Meski Ibu saya tidak bisa mengirim chat atau sms dengan cepat namun soal pulsa beliau tidak pernah hitungan. Daripada lama mending telfon aja langsung. Nah saya baru mensyukuri hal ini adalah ketika saya mendapati santri saya yang kesulitan untuk menghubungi kedua orang tuanya lantaran kedua orang tuanya tiap kali diminta telfon balik selalu beralasan tidak memiliki pulsa. Sampai santri saya itu menangis lalu berkata sambil terisak kepada saya,

“Padahal tinggal beli pulsa. Enggak mahal kok. Masa tiap kali diminta telfon alasannya selalu sama tidak ada pulsa.”

Saat itu saya hanya terdiam dan teringat Ibu di rumah.

Dan masih banyak hal lain yang dulu selalu saya bandingkan beliau dengan yang lainnya. Tapi kini tidak. Setelah perjuangannya membesarkan kami semua dengan segala keterbatasan yang dimilikinya saya rasa, saya tidak akan pernah membayar perjuangannya itu.

Ya Allah terima kasih karena telah menyadarkan saya bahwa Ibu saya adalah sosok yang luar biasa ditengah segala kekurangannya.

Kelak jika nanti saya menjadi seorang Ibu, saya ingin menjadi seorang Ibu yang kuat seperti Ibu saya, yang lebih menyayangi anaknya ketimbang urusannya sendiri.

Happy Mother’s day everyone.

Selagi masih ada Ibu di samping kita jangan pernah remehkan perjuangannya.

Dengan perasaan yang campur aduk,

Ihat


ps: tulisan ini merupakan tulisan 3 tahun yang lalu yang baru saya temukan lagi dan saya repost kembali :)

Share: