Berlibur di Kampung Halaman

Gambar oleh Stefan Schweihofer dari Pixabay

Tahun ini merupakan tahun ke dua bagi aku untuk bisa kembali merasakan mudik lebaran. Meski jaraknya tidak sejauh harus melintas pulau, tapi aku bersyukur bisa diberi kesempatan untuk merasakan mudik lebaran antar kota. Merasakan berburu tiket diawal-awal bulan Ramadan kemarin, hingga terpaksa harus memilih pulang lebih dahulu dikarenakan tiket kereta untuk tanggal-tanggal tersebut sudah sold out.

Selama di kampung halaman sendiri ini lah, entah mengapa aku lebih excited ketika berburu takjil bersama adikku. Semua jajanan bisa saja dibeli jika aku tak bisa menahana nafsuku. Berbeda sekali ketika di tempat perantauan. Sudahlah memang tinggal sendiri, sensasi untuk berburu takjil biasa saja. Dalam fikiran yang penting cukup untuk berbuka dan sahur. Padahal, sewaktu berangkat aku sudah berniat akan irit ketika tiba di kampung halaman. Nyatanya tidak. 

Meski tidak pergi ke tempat wisata, pergi hanya untuk berburu takjil misalnya itu sudah cukup bagiku. Mengapa? Karena jalanan menuju tempat jualan itu adalah jalanan yang dulu sering aku lewati ketika aku duduk di bangku SD. Melewati jalanan sawah yang kini sudah mulai agak berubah karena sudah mulai banyak bangunan yang dibangun. Setiap kali melewatinya memori indah dahulu kembali mendadak hadir. Kemudian melihat para penjual dagangan itu yang tak lain kebanyakan mereka adalah penjual makanan dahulu ketika aku masih SD. Roda-roda yang digunakan tidak jauh beda warnanya. Hanya saja wajah-wajah mereka sudah mulai terlihat tua seiring waktu berjalan. 

Betul, pulang ke kampung halaman justru membuat aku banyak merenung atas hal-hal yang dahulu pernah aku lewati. Saat melewati sungai, aku teringat bahwa aku pernah terjatuh ke sungai itu sebanyak 3 kali. Saat melewati masjid dekat rumah, aku ingat betapa nakalnya aku dulu saat salat tarawih. Di saat Ibu-ibu yang lain sedang menjalankan salat dengan khusyu, aku dan teman-temanku yang lain malah kabur untuk jajan. Kemudian kembali lagi pada saat salat witir. Membuat beberapa Ibu-ibu komat-kamit mengomel kesal melihat kelakuan kami.

Aku tersenyum acap kali melewati jalanan-jalanan tersebut. Sejenak sebelum mentari terbenam di ufuk barat, aku memeluk diriku sendiri. Berterima kasih atas masa-masa yang pernah aku lalui di sini hingga akhirnya mengantarkan aku ke tempat perantauanku sekarang. Berterima kasih karena tetap berjuang dan tidak menyerah meski keadaaan kerap kali menguji mimpi yang kata orang mustahil untuk diraih. Berterima kasih karena kini rupanya aku bisa memaknai kata berlibur. Bahwa berlibur bukan serta merta kamu bisa pergi ke tempat wisata, tapi bagiku berlibur adalah bagaimana kamu menghargai setiap moment yang kamu miliki sehingga ketika waktunya sudah usai kamu sudah bisa kembali beraktifitas dengan energi baru. 

Selamat berlibur, selamat berkumpul dengan keluarga. 


with love,

Ihat   


0 Comments