2. Mimpi Menjadi Kenyataan

Photo by Pixabay from Pexels


Mimpiku menjadi kenyataan. 

Tak pernah terduga tak pernah terbayangkan sebelumnya dan kini sudah di depan mata. Bandung! Salah satu kota impianku semenjak SMA... I'm coming now!

Setelah berpamitan kepada kedua orang tua sekaligus meminta restu aku memilih berangkat menggunakan bus. Sendiri. 

"Bandung." Gumamku sendiri lalu teringat pada pesan yang sempat aku kirim satu tahun yang lalu padamu melalui media sosial karena aku tak tahu nomor handphone mu. 

Aku : apa kabar?
Kamu : alhamdulillah baik

Tanpa bertanya  balik kamu begitu dingin menjawabnya. Padahal seandainya kamu tahu, aku merindukanmu sendirian di sini. 

Aku : di mana sekarang?

Tak ayal, aku kembali bertanya lagi meski aku harus memaksa diri sendiri untuk berjanji bahwa ini akan jadi pesan terakhirku padamu.

Kamu : di Bandung

Ok baiklah. Janji harus ditepati dan aku berhenti untuk menghubungimu lagi. Bandung katamu. 

Aku tersenyum perih setelah membaca pesan itu dan aku tidak menyadari rupanya ada orang yang kini sudah duduk di sampingku. Aku memilih memandangi jalanan lewat kaca jendela mobil sambil sesekali tertidur. Dan aku sama sekali tak tertarik untuk melirik wajah penumpang di sampingku ini. Yang aku lihat hanya dia memakai celana jeans hitam panjang dan sepatu coklat. Rupanya dia seorang laki-laki. 

Bus akhirnya berhenti di tempat pemberhentian akhir. Dan aku masih shock dengan kehadiranmu yang tiba-tiba dan pertanyaanmu yang seolah-olah mengolok-olok perasaanku. Aku buru-buru turun dan berjalan mendahuluimu. 

"Tan, Intan.." Panggilmu dan aku tak menggubris hingga akhirnya langkahku tetap saja tersusul olehmu. 

Kamu menyodorkan hpmu padaku. 
"Simpan nomormu di sini." 

Aku menatapnya sekilas dengan hati berdebar-debar. "Buat apa?" Tanyaku. 

"Mungkin kita bisa janjian untuk bertemu lagi dilain waktu."

Aku terdiam sambil memandangi hpmu yang masih berada ditanganmu. Dengan ragu akhirnya aku menerima hpmu kemudian mengetik nomorku. 

"Ini." Kataku sambil mengembalikan hp.

Kamu tersenyum. Senyum yang berhasil membuat aku jatuh cinta padamu sepuluh tahun yang lalu. 

"Kamu ke arah mana? Kiri? Kanan?"

"Kiri."

"Baiklah. Saya ke kanan. Sampai jumpa." Kamu melangkah pergi lebih dahulu sambil melambaikan tangan padaku.

Apa maksud dari pertemuan ini Tuhan? Tanyaku dalam hati. 

💓💓💓

Dua minggu setelah pertemuan denganmu itu kamu sama sekali tidak menghubungiku. Dalam hati sebenarnya aku ingin menghubungi kamu tapi aku tidak tahu nomor hp kamu. Dan sialnya lagi aku malah kembali mengharapkan kamu. Sesekali aku memeriksa hp berharap ada nomor baru yang masuk dan tentunya itu kamu. Tapi nihil. Hingga detik ini tak ada nomor baru yang masuk.

Aku kembali berlari mengililingi lapangan Gasibu sendirian. Hari Minggu pagi ini aku sempatkan untuk berolahraga ke lapang Gasibu. Entah angin apa yang membawaku ke sini. 

"Kamu ke sini sendiri?" Aku langsung menoleh kesamping begitu ada orang yang rupanya tengah menyapaku.

Aku mengerutkan kening dan setelah sadar siapa yang tengah menyapaku ini aku langsung menghentikan lariku.

"Kamu kok tahu aku ke sini?"

"Kalau saya tahu kamu di sini sepertinya saya tak akan pergi ke sini." 

Aku diam sambil mendengus kesal.

"Rupanya takdir sedang bekerja untuk mempertemukan kita kembali."

Aku tak menggubrisnya lalu kembali melanjutkan lari. Walau dalam hati sebenarnya aku senang bukan main karena bisa bertemu lagi denganmu.

"Saya perhatikan tadi kamu sempat mengecek-ngecek hp. Kenapa? Nunggu pesan dari saya ya?" Katamu lagi menyebalkan sambil berusaha mengimbangi laju lariku.

Aku menoleh padanya lalu mendelik kesal dan meninggalkannya. Aku buru-buru menyebrangi jalan kemudian menyetop angkot. Meski pada saat di angkot aku berusaha mencarimu tapi kamu tak terlihat sama sekali.

Rupanya dia hanya iseng sama aku. Mana mungkin kan dia serius sama aku? Akunya aja yang keburu baper. Emang dari dulu gak akan....

Sebuah pesan dari nomor yang tidak dikenal masuk dan membuyarkan semua fikiran-fikiran jelekku.

Kamu kok malah lari terus pulang naik angkot? Saya kan tadinya mau ngajak sarapan bareng sama kamu. 

Aku tersenyum malu sendiri dan membiarkan pesan itu hanya menyisakan centang dua biru. 

Jangan lupa di save nomor saya. Habis ini jangan pernah lari ninggalin saya sendiri. Nanti kita akan bertemu lagi dengan waktu yang telah ditentukan. Semoga Allah mengizinkan waktu untuk pertemuan-pertemuan kita ke depan. 

Hatiku dagdigdug tak karuan. Masa iya terakhir ketemu itu di acara reuni pas kita baru aja keluar SMA, 7 tahun yang lalu. Habis itu tak ada komunikasi lagi. Paling-paling pesan tahun lalu yang kamu jawab jutek itu.

Apa jangan-jangan kamu lagi patah hati kemudian sengaja ngasih pelampiasan sama aku? Atau kamu lagi diburu-buru nikah sama orang tua kamu terus kamu pilih aku buat jadi istri/calon istri sementara habis itu aku bakal ditinggal begitu saja?

Fikiran-fikiranku melayang jauh tak berarah. Rasa senangku seketika hilang dan lenyap. Kembali terbayang saat kamu dulu malah memilih jadian bersama sahabatku sendiri. 

Love,
Ihat


Share:

1. Because of This Song

Foto oleh cottonbro dari Pexels


Memendam sebuah perasaan itu terasa menyesakkan bukan? Entah itu perasaan sedih, kecewa, senang, hingga bahagia karena jatuh cinta. Menyimpannya sendiri dan hanya mampu dituangkan dalam sebuah aksara di malam-malam yang dingin pada tumpukan kertas yang dikunci rapat adalah kebiasaanku. Seluruh perasaan yang aku alami hari ini selalu aku curahkan menjelang beranjak pergi untuk memejamkan mata. Karena bagiku perasaan yang dibawa tidur hanya akan membuat otak terus menerus bekerja mengingatnya lalu menjelmakannya menjadi mimpi-mimpi malam yang panjang yang terkadang meresahkan atau membuat tak keruan hingga tak ingin terbangunkan oleh suara kokokkan ayam tetangga.

Adalah hari itu. Saat aku tak mampu lagi memendam seluruh perasaan yang aku miliki sejak awal kita berjumpa maka dengan segenap keberanian yang telah aku kumpulkan jauh-jauh hari aku membulatkan tekad untuk mengirimkan sepotong lirik lagu padamu sebagai representasi dari isi hatiku.

Kau buat aku bertanya

Kau buat aku mencari

Tentang rasa ini aku tak mengerti

Akankah sama jadinya bila bukan kamu

Lalu senyummu menyadarkanku

Kaulah cinta pertama dan terakhirku.

Sherina Munaf - Cinta Pertama dan Terakhir

Dengan perasaan campur aduk dan hati yang berdebar keras akhirnya aku putuskan untuk kembali mengirimmu pesan.

Maaf salah kirim

Karena pada saat itu kita tak bisa menarik pesan yang statusnya telah terkirim. Berbeda dengan sekarang. Bisa jadi dia tak keburu untuk membacanya lantaran pesannya sudah kamu tarik. Tapi zaman itu beda. Apa yang telah kamu lakukan ya sudah. Tak bisa lagi ditarik. Hingga pesan itu aku yakin kamu membacanya dan sebuah pesan balasan sampai padaku.

Hayo buat siapa hayo? Nanti saya sampaikan ke orangnya.

Aku hanya tersenyum membacanya. Kamu itu benar-benar polos, tidak tahu, atau memang sengaja menjawab seperti itu sebagai bentuk sebuah penolakan yang halus?

Kamu tak perlu menyampaikannya pada orang lain. Kamu sendiri adalah orangnya. Bisikku dalam hati. 

Gak usah. Salah kirim kok. 

Tak butuh hitungan menit sebuah pesan kembali hadir.

Ayolah beri tahu saya, nanti saya sampaikan.

Aku merebahkan diri di atas kasur sambil menatap langit-langit kamar dan membiarkan pesanmu itu tanpa membalasnya. Hingga aku tertidur kemudian terbangun di keesokan harinya dan mendapati lagi sebuah pesan darimu.

Ayo buat siapa sebenarnya pesan itu?

Masih sambil tersenyum dengan sedikit menantang aku menjawab,

Kalau buat kamu gimana?

Bergeming. Tak ada lagi pesan masuk darimu. 

Hingga akhirnya kembali berjumpa di sekolah dengan sedikit perasaan canggung. 

💓💓💓

Lagu Sherina Munaf-Cinta Pertama dan Terakhir akhirnya selesai diputar membuat aku kembali ke masa kini. Duduk sendirian tanpa mengindahkan kursi di samping sambil menikmati panorama sore yang indah dari balik jendela bus, aku tersenyum sendirian. 

"Jadi lagu itu dulu benar-benar buat saya?"  

Sebuah suara tiba-tiba muncul dari seorang penumpang di sampingku, membuat aku menoleh padanya.

"Kamu?" Aku cukup terkejut sekaligus gugup.

"Hari ini masih berlaku gak kalau lagunya itu buat saya? Bukan cuma jadi yang pertama tapi jadi yang terakhir juga."

Senyumku memudar. Antara percaya sekaligus tidak. Antara mimpi atau kenyataan karena sejatinya pertemuan ini adalah pertemuan kami setelah tujuh tahun berpisah. 

"Saya dari tadi duduk di samping kamu tapi kamunya menghadap ke jendela terus. Mungkin kamu lagi mengenang saya karena lagu itu diputar." Jawabmu penuh percaya diri sambil tersenyum menggoda. 


Love,

Ihat



Share:

Perkara Usia dan Dewasa

www.canva.com


Berada di detik detik akhir usia 24 menuju awal 25. Ketika Mamahku dulu tengah mempersiapkan pernikahannya bersama Bapakku. 

Dan aku kini? 

Aku kira dengan bertambahnya usia maka urusan hidup akan mudah. Karena kita tak lagi terikat peraturan seperti anak kecil yang harus selalu patuh pada peraturan. Kita bisa bebas melalukan apapun tanpa ada yang melarang, tak seperti saat kita kecil semua akses dibatasi hanya karena perkara masih di bawah umur. 

Justru yang aneh adalah semakin bebasnya hidup ini maka semakin terkekangnya kita oleh belenggu-belenggu fikiran yang menakutkan. Kita mungkin bisa hidup bebas tapi tuntutan yang tak pernah kita minta justru datang dari arah mana saja. Satu atau dua kali kamu bisa kebal menanggapinya. Tapi saat tuntutan itu berkali-kali menghujammu maka kamu akan merasa terperosok, merasa hina, merasa tak pantas karena tak bisa berada di garis yang sama dengan mereka. 

Di usia yang sama saat kita kecil, kita merasa semua yang ada di kelas sama. Mendapatkan perlakuan yang sama dari guru, mendapatkan pelajaran yang sama, pr yang sama. Yang membedakan hanya yang rajin pasti akan mendapatkan ranking dan yang malas akan tertinggal bukan begitu?

Tapi mengapa begitu memasuki usia dewasa saat usia kita sama tapi jalan kita jelas-jelas sangat berbeda. Soal kerja keras tak melulu dapat menghasilkan hal memuaskan. Bahkan tak jarang malah berakhir kesengsaraan, kekecewaan. Berbeda saat sekolah dulu, hanya perlu belajar yang benar, belajar yang rajin, taat pada guru dan juga pertaturan maka istilah usaha tak mengkhianati hasil memang betul adanya.

Lantas mengapa setelah dewasa istilah itu seolah tak berguna? Mengapa ada orang yang usahanya biasa biasa saja tapi hasilnya bisa memuaskan? Apa perkara keberuntungan hidup mulai bekerja di sini? 

Kadang dalam hati bertanya sambil melihat ke langit atas, mengapa Tuhan memberiku waktu yang amat banyak untuk hidup yang tak tentu ini? Mengapa harus melalui banyak ujian hidup di saat orang lain seusiaku masih bisa melakukan hal yang sangat ingin dia lakukan? Untuk apa waktu sebanyak ini diberikan jika aku harus tetap tegar menghadapi hantaman kerasnya deburan ombak?

Terkadang aku benci perkara usia. Maka aku tak suka merayakan ulang tahun. Aku tak suka dengan harapan yang dipanjatkan lalu meniup lilin. Untuk apa? Aku sudah bosan dengan harapan. Apalagi harapan pada manusia. Karena pada akhirnya hanya akan membuat hati terluka dan juga kecewa. Pada Tuhanku pun harapanku hanya dua,

Jika itu yang terbaik menurut Engkau maka permudah, tapi jika itu sebaliknya maka jauhkanlah.

See? Aku tak pernah lagi berekspektasi pada hal-hal lain. Sudah muak rasanya saat kegagalan justru yang menimpa. Ya karena itu. Karena harapan yang kita sandarkan adalah pada hal-hal yang tak mampu mewujudkannya. Bukankah manusia tak mampu mewujudkan harapan? Maka dari itu mengapa dalam agama yang dianutku, kita diajarkan untuk berharap tentang segala hidup ini dan memasrahkannya pada sang Maha Pencipta, Allah. Sehingga hati kita nanti apapun yang akan terjadi telah sanggup dan mampu menerima segala yang telah digariskanNya. Bukankah begitu?

Perkara usia. Perkara ulang tahun. Perkara doa panjang umur dan aku membenci itu pula. Mengapa harus meminta umur yang panjang saat teman teman se usia kita sudah pergi mendahului? Bukankah hidup terasa amat sepi karena tak ada lagi bahan obrolan dengan teman sebaya? Haruskah hanya berteman dengan radio yang menyiarkan acara "dari zaman dulu, dari tahun X" sehingga kita bisa mengenang masa-masa yang telah lalu? Bukankah itu terlalu melelahkan?

Perkara usia. Perkara dewasa yang selalu diributkan soal pencapaian. Buat apa? Buat ngerasa hidup lebih bahagia karena banyaknya pencapaian yang telah dicapai? Lantas bagaimana dengan urusan akhirat? Lupa karena terlalu sibuk dengan urusan dunia? Capek kalau terus menerus membandingkan. Tak akan ada habisnya. Yang ada kamu lupa soal akhiratmu dan malah mati dengan hati yang masih mengejar urusan duniawi.

Demikianlah pemikiran-pemikiran yang mengganggu malam ini sebelum beranjak tidur.

Good night,
Ihat
Share:

When My Overthinking Comes

Foto oleh Olya Kobruseva dari Pexels


Hello everyone. Happy Eid Al-Fitr. Taqobbalallohu minna wa minkun. Aamiin. Mohon maaf lahir dan batin juga ya!

H-1 menjelang Idul Fitri, I didn't know why I was so messed up. I was messed up to face tomorrow, my Eid Fitri. I was not happy to celebrate my Eid. Besides, I was also afraid to meet my big family, I was afraid with their questions. Yang terkadang suka bikin menohok dan bikin sakit hati. Such as,

"Kuliah udah lulus?"
"Udah dapet kerja?"
"Kerja di mana?"
"Mana dong calonnya. Belum dikenalin juga."

And sederet pertanyaan lain yang pada umumnya selalu dilontarkan khas Idul Fitri yang ujung-ujungnya comparing each other. 

"Eh itu kan keponakan aku udah dapet kerja di perusahaan x gajinya enak, gede, bla bla..."

"Dia kemarin kan nikahnya biaya resepsinya ditanggung sama suaminya semuanya..."

Dalam hati ngebatin, mau hidup seenak gimanapun juga part gak enaknya pasti dapet. Kita liatnya cuma pekarangannya aja sih coba kalau masuk ke dalam belum tentu seindah pekarangannya kan?

Fatalnya hal itu bikin aku susah tidur dan ketakutan sendiri atas pertanyaan-pertanyaan yang aku bikin sendiri. Dasar si overthinking! Hidup sampe hari besok aja belum tentu. Malah mikirin hal-hal yang belum terjadi. Kayak gak punya Allah aja. 

And when morning came after doing shalat Ied, to be honest aku agak mogok ketika Mamah udah ngajak kita semua kumpul di rumah saudara. Aku agak mengulur-ngulur waktu karena sejatinya aku males dan gak mau ketemu keluarga besar dari bapak gegara fikiran-fikiran aneh semalam yang aku bikin sendiri. Tapi ya pada akhirnya aku ngikut. Berjalan, ngekor di belakang Mamah dengan hati yang harap-harap cemas.

"Kalau ditanya gitu harus jawab apa ya?"
"Kira-kira mereka bakal nanya apa ya?"

Sesampainya di sana,  we gathered together, saling maaf-memaafkan, dan tenggg! Ini nih moment yang kadang bikin akward. Beberapa pertanyaan mulai terlontar menghangatkan suasana, beruntung pertanyaan yang diarahkan ke aku gak ada sama sekali pertanyaan yang aku takutkan: yang menyinggung aku. Dan aku bisa rileks menjawabnya. Sedikit demi sedikit awan hitam di atas kepalaku memudar dan pergi. Bahkan yang bikin aku terharu itu beberapa saudara aku ada yang mendoakan aku biar segera ketemu jodoh yang sholeh, baik, dan mapan. Ya aku aminkan saja. 

Tahu tidak sebenarnya apa yang aku takutkan semalam dan malah bikin aku stress sendiri itu adalah ulah aku sendiri? Ulah atas prasangka-prasangka jelekku dan malah bikin otak aku mikir yang aneh-aneh. Dan itu semua berawal dari scrolling social media. Beberapa content yang appear adalah cara menjawab pertanyaan-pertanyaan aneh saat lebaran tiba. Lalu otakku salah respon dan akhirnya aku malah menciptakan rasa takut sendiri ketimbang mempersiapkan jawaban jika memang benar-benar akan ditanya hal yang tak diinginkan.

Terkadang kita terlalu khawatir dan takut atas hal yang belum terjadi. Padahal semua itu diluar kendali kita. Dan bahkan as I mentioned above belum tentu juga kan waktu kita masih ada untuk esok hari? Jadi kenapa mesti mengkhawatirkan esok hari yang belum tentu terjadi pada kita? Well, I mean iya kita harus punya rencana, harus. Memikirkan kemungkinan terburuknya bahkan iya harus biar kita punya rencana cadangan, tapi kalau terus terusan fokusnya di hal-hal buruk yang memang belum tentu terjadi justru akan membuat kita semakin down dan enggan untuk melakukannya karena udah takut duluan. Seperti aku yang udah takut duluan, jadi males kumpul keluarga, males ketemu keluarga. Faktanya apa? Mereka biasa-biasa aja kok. Gak nanya yang aneh-aneh. Bahkan mereka mendoakan kebaikan buat aku. 

"Katakanlah (Muhammad), "Aku tidak kuasa mendatangkan manfaat maupun menolak mudarat bagi diriku kecuali apa yang dikehendaki Allah. Sekiranya aku mengetahui yang ghaib, niscaya aku akan membuat kebajikan sebanyak - banyaknya dan tidak akan ditimpa bahaya. Aku hanyalah pemberi peringatan dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman." (Q.S Al-A'raf : 188)

Setingkat Rasulullah saja tidak bisa membawakan manfaat atau menolak mudarat dan juga tidak tahu perkara ghaib. Lantas kita sebagai umatnya? Astaghfirullah 😭 As a moslem also, kalau kita banyak takutnya atas hidup ini berarti kita gak percaya atas ketetapannya Allah. Sebagaimana yang tertuang dalam Q.S Al-Hadid ayat 22 bahwa segala sesuatu sudah dituliskan di lauhul mahfudz. Lantas mengapa kita harus memikirkan hal-hal yang memang diluar kuasa kita? Bukankah Allah itu Al-'Aliim, Maha Mengetahui? Maha Mengetahui mana yang baik dan buruk bagi kita? 

Dan fikiran-fikiran jelek itu berasal dari syetan. Agar kita senantiasa ragu akan ketetapan Allah, ragu atas kuasa Allah, ragu atas pertolongan Allah. 

Menulis ini adalah salah satu cara agar overthinking aku sedikit demi sedikit berkurang. Because writing is one of my ways to be able to talk deeply with my self. Bukan maksud menggurui tapi sedang mengingatkan diri. 

"Bukankah Dia (Allah) yang memperkenankan (doa) orang yang dalam kesulitan apabila dia berdoa kepada-Nya dan menghilangkan kesusahan dan menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah (pemimpin) di bumi? Apakah di samping Allah ada tuhan (yang lain)? Sedikit sekali (nikmat Allah) yang kamu ingat." (Q.S An-Naml: 62)

Love,
Ihat
Share:

Rentang Kisah – Gita Savitri Devi

doc.pribadi

Before deciding to buy this book, aku sempet galau karena sebelumnya I had watched this movie. Iya udah tahu kan jalan ceritanya dari film pasti gak jauh beda dari bukunya kan? Gitu fikirku. Cuma akhirnya aku membeli juga buku ini karena aku yakin pasti ada kata-kata yang lebih nyentuh ke hati dari buku ini yang biasanya gak ada di film atau emang akunya aja yang gak fokus nonton sehingga bagian pentingnya ke skip. And after reading this book? Boom!

Buku Rentang Kisah ini sendiri berkisah tentang pengalamannya Kak Gita Savitri Devi dari mulai dia SMA, bingung mau kuliah kemana, jurusannya apa, kemudian tiba-tiba ditawari kuliah ke Jerman, bagaimana hidup di Jerman, dan juga kisah asmaranya hingga pertemuannya dia dengan Paul yang kini menjadi suaminya.

I particularly liked about this book because this book use simple words, easy to understand, to the to point, tidak terkesan menggurui, dan lebih ke membuat aku sebagai pembaca banyak introspeksi diri. Besides, the thing that I disliked from this book is the font size used is a bit too large. I would highly recommend this book to young adult, especially for the students in senior high school.

I give this book 5 stars.

Here some my favourite quotes from this book:

Kita belum tentu mendapatkan apa yang kita mau. Ketika itu terjadi, kita harus bisa menerima dan menghadapinya dengan bijaksana atau nggak akan pernah belajar tentang apa-apa dari hidup ini. – hal 51

Aku pun selalu bilang kepada diri sendiri untuk selalu percaya dengan apa pun yang Allah SWT kasih. Karena hal tersebut semata-mata hanyalah untuk kebaikanku sendiri. – hal 158  

Blurb

Apa tujuan hidupmu?

Kalau itu ditanyakan kepadaku saat remaja, aku pasti nggak bisa menjawabnya. Jangankan tujuan hidup, cara belajar yang benar saja aku enggak tahu. Setiap hari aku ke sekolah lebih suka bertemu teman-teman dan bermain kartu. Aku nggak tahu apa yang menjadi passion-ku. Aku sekedar menjalani apa yang ibu pilihkan untukku-termasuk melanjutkan kuliah di Jerman.

Tentu bukan keputusan mudah untuk hidup mandiri di negara baru. Selama 7 tahun tinggal di Jerman, banyak kendala aku alami; bahasa Jerman yang belum fasih membuat proses perkuliahan menjadi berat, hingga uang yang pas-pasan membuatku harus mengantur waktu antara kuliah dan kerja sambilan.

Semua proses yang sulit itu telah mengubahku; jadi mengenal diri sendiri, mengenal agamaku, dan memahami untuk apa aku ada di dunia. Buatku, kini hidup tak lagi sama, bukan hanya tentang aku, aku, dan aku. Tapi juga, tentang orangtua, orang lain, dan yang paling penting mensyukuri semua hal yang sudah Tuhan berikan.

The purpose to live a happy life is to always be grateful and don’t forget the magic words: ikhlas, ikhlas, ikhlas.

Thank You!

Ihat

Share:

I WANT TO DIE BUT I WANT TO EAT TTEOKPOKKO - BAEK SE HEE

 

doc.pribadi


Book identity
Judul: I Want to Die but I Want to Eat Tteokpokki
Penulis: Baek Se Hee
Penerjemah: Hyacinta Louisa
Bahasa: Indonesia
Penerbit: PT Haru Media Sejahtera
Catakan kedua puluh empat, Januari 2022
Hal: 236 Hal 
Genre: Self Improvement


Blurb
Aku:  Bagaimana caranya agar bisa mengubah pikiran bahwa saya ini standar dan biasa saja?
Psikiater: Memangnya hal itu merupakan masalah yang harus diperbaiki?
Aku: Iya, karena saya ingin mencintai diri saya sendiri
 
I Want to Die but I Want to Eat Tteokpokki adalah esai yang berisi tentang pertanyaan, penilaian, saran, nasihat, dan evaluasi diri yang bertujuan agar pembaca bisa menerima dan mencintai dirinya.
Buku self improvement  ini mendapatkan sambutan baik karena pembaca merasakan hal yang sama dengan kisah Baek Se Hee sehingga buku ini mendapatkan predikat bestseller di Korea Selatan.


This book tells us….
I Want to Die but I Want to Eat Tteokpokki merupakan sebuah buku yang ditulis oleh Baek Se Hee, penulis asal Korea Selatan, yang menceritakan tentang catatan pengobatannya yang terjangkit distmia atau gangguan distimik (kondisi di mana penderitanya mengalami depresi ringan yang berkepanjangan dan terus-menerus). Hal 12.


What I particularly liked about this book…
Membaca buku ini sama seperti sedang membaca diary seseorang, mostly the content of this book is about conversation between the writer and her psychiatrist during the treatment process. Dari dialog-dialog inilah banyak sekali hal-hal yang bisa kita ambil. Diantaranya adalah bagaimana cara kita menerima dan mencintai diri kita sendiri. Besides, there are many her reflections after the conversations yang membuat aku sebagai pembaca jadi ikut merenung dan kembali berkaca pada diri sendiri. Isi bukunya juga tidak teoritis hanya berisi percakapan apa adanya berdasarkan pengalaman pasien dengan psikiaternya dan yang dibahasnya pun sangat relate dengan kehidupan sehari-hari. (Started from less confident, overthinking, membandingkan hidup dengan orang lain, pekerjaan, and many so on. Please read this book!)

Dari segi cover, menarik. Font tulisannya juga bagus, enak untuk dibaca. Kemudian untuk hal-hal penting tulisannya dibold dan juga diberi highlight dengan warna merah. Ada pembatas bukunya juga, menghindari dari melipat-lipat kertas sebagai tanda batas baca.


What I disliked about this book…
Bahasanya kaku (contohnya: aku tidak tahu kenapa aku berbicara tajam seperti ini. Hal 136), baku dan ada beberapa istilah psikiatri yang tidak dijelaskan secara definisi.


The last…
I would highly recommend this book to new adult and adult, yang sedang bertahan dan memperjuangkan hidupnya to keep sane. Exactly, being an adult is not easy. By reading this book I think you can find the formula to face it.    
I give this book 5 starts.
 

Penyebab utamanya adalah karena anda terlalu mengkhawatirkan apa yang dipikirkan oleh orang lain. Akibatnya, kepuasan terhadap diri anda sendiri pun menurun. Padahal, hidup anda adalah milik anda sendiri. Tubuh anda adalah milik anda dan andalah yang sepenuhnya bertanggung jawab atasnya. Hal 61

Hanya ada satu ‘aku’ di dunia. Dengan begitu aku adalah sesuatu yang amat special. Diriku adalah sesuatu yang harus aku jaga selamanya. Diriku adalah sesuatu yang harus kubantu secara dengan perlahan, kutuntun selangkah demi selangkah dengan penuh kasih sayang dan kehangatan. Diriku adalah sesuatu yang butuh istirahat sesaat sambil menarik nafas panjang atau terkadang butuh cambukan agar bisa bergerak ke depan. Aku percaya bahwa aku akan menjadi semakin bahagia jika aku sering melihat ke dalam diriku sendiri. Hal. 111

Sepertinya kehidupan adalah suatu proses pembelajaran untuk menerima hal-hal yang terjadi pada kita. Aku pun terpikir bahwa kemampuan untuk menerima dan pasrah bukanlah sesuatu yang bisa muncul hanya pada masa-masa tertentu dalam hidup saja. Kedua hal itu adalah suatu tugas yang harus dipelajari dan dilatih terus-menerus selama hidup. Aku harus belajar dan berusaha untuk menerima diriku apa adanya. Hal. 201

 

Thank You!
 
Share:

Just Do It with All of Your Heart

Photo by Stillness InMotion on Unsplash

Bismillahirrahmanirrahiim 

Tulisan ini terinspirasi dari drama Korea Twenty Five Twenty One yang dibintangi oleh Kim Tae-Ri yang berperan sebagai Na Hee-Do dan Nam Joo-Hyuk yang berperan sebagai Baek Yi-Jin. Banyak sekali pelajaran yang bisa diambil dari drama ini. Tetapi ada satu hal yang menurut aku paling menarik, yang bisa diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, yaitu scene saat Na Hee Do ditelfon oleh pelatihnya, Yang Chang-Mi bahwa dia akan dikirim ke pertandingan untuk menjadi anggota timnas. Karena Na Hee-Do ingin menjadi juara satu dan tentunya ingin masuk timnas, dia meminta kepada pelatihnya untuk melatihnya di pagi buta dan akhir pekan. Pelatihnya menyetujuinya dengan latihan sebagai berikut:

1. Setiap pagi, pakai pemberat 5kg di badan , 3kg di kaki, dan 2kg di tangan sehingga berjumlah 10kg lari dari rumah Na Hee-Do ke rumah pelatihnya kemudian membangunkan pelatihnya.
2. Lakukan fente 1000 kali setiap hari. Lakukan 300 saat pagi buta, 300 saat pelatihan pagi, dan 400 kali saat malam. 
3. Daki kaki gunung di belakang sambil membawa 2 jeriken air. Isikan dengan air di mata air di puncak. Kemudian di antar ke rumah pelatih. Batas waktunya 2 jam. 
4. Hafalkan gerakan lagu yang pelatihnya berikan berikan dan tunjukkan kepada pelatihnya.
5. Jangan bertanya apapun soal program pelatihan yang pelatihnya suruh. Karena meskipun diberi tahu oleh pelatihnya, Na Hee-Do tidak akan faham. 

Hingga Na Hee-Do merasa putus asa ketika latihan menari karena tidak bisa-bisa. Namun karena ingat dengan poin ke lima maka dia pun kembali latihan sambil berkata, "Lakukan saja sesuai perintah." 

Sampai pada saat Na Hee-Do ingin memperlihatkan gerakan tariannya kepada pelatihnya, pelatihnya  menolaknya dan berkata, 

"Beri tahu aku yang kau sadari."

"Aku sadar perbedaanku dengan Go Yu-Rim. Alasan permainan anggar Go Yu-Rim elegan bagaikan tarian adalah karena ritmenya, tetapi permainan anggarku seperti orang yang buta ritme."

"Ritmemu tak akan menjadi bagus hanya karena hafal satu latihan. Namun, aku menyuruhmu menghafalkannya agar kamu tahu cara beranggar dengan baik. Berlatihlah untuk terus mengamati, jika sudah begitu permainan anggarmu akan terlihat secara objektif."

Hingga suatu hari Na Hee-Do dikejar orang-orang yang sebelumnya pernah dihajarnya hingga akhirnya dia berlari kencang dan menyadari bahwa larinya jadi cepat sekali karena tanpa menggunakan alat pemberat. Berkat latihan dan kerja kerasnya akhirnya mengantarkan Na Hee-Do menjadi atlet yang berhasil meraih emas pada kejuaraan tingkat internasional. 


Hal ini pun mengingat aku juga pada kisah Nabi Musa yang pada saat itu beliau merasa paling alim, paling berilmu hingga kemudian Allah menegurnya bahwa ada orang yang lebih tingginya dibandingkan Nabi Musa. Kemudian Nabi Musa meminta kepada Allah untuk dipertemukan dengannya. Allah pun mengabulkan permintaan Nabi Musa untuk bertemu dengan Nabi Khidir. Sebagaimana kisahnya diabadikan dalam Al-Qur'an surat Al-Kahf dari ayat 60 sampai 82.

"(65) Lalu mereka berdua bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan rahmat kepadanya dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan ilmu kepadanya dari sisi Kami. (66) Musa berkata kepadanya, "Bolehkah aku mengikutimu agar engkau mengajarkan kepadaku (ilmu yang benar) yang telah diajarkan kepadamu (untuk menjadi) petunjuk?" (67) Dia menjawab, "Sungguh, engkau tidak akan sanggup sabar bersamaku. (68) Dan bagaimana engkau dapat bersabar atas sesuatu, sedang engkau belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?" (69) Dia (Musa) berkata, "Insya Allah akan engkau dapati aku orang yang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam urusan apapun." (70) Dia berkata, "Jika engkau mengikutiku, maka janganlah engkau menanyakan kepadaku tentang sesuatu apa pun, sampai aku menerangkannya kepadamu." (Q.S Al-Kahf : 65-70)

1. Nabi Khidir melubangi perahu
(71) Maka berjalanlah keduanya, hingga keduanya menaiki perahu lalu dia melubanginya. Dia (Musa) berkata, "Mengapa engkau melubangi perahu itu, apakah untuk menenggelamkan penumpangnya? Sungguh, engkau telah berbuat sesuatu kesalahan yang besar." (72) Dia berkata, "Bukankah sudah kukatakan, bahwa engkau tidak akan mampu bersabar bersamaku?" (73) Dia (Musa) berkata, "Janganlah engkau menghukum aku karena kelupaanku dan janganlah engkau membenani aku dengan sesuatu kesulitan dalam urusanku." 

2. Nabi Khidir membunuh  seorang anak muda
"(74) Maka berjalanlah keduanya, hingga ketika keduanya berjumpa dengan seorang anak muda, maka dia membunuhnya. Dia (Musa) berkata, "Mengapa engkau bunuh jiwa yang bersih, bukan karena dia membunuh orang lain? Sungguh engkau telah melakukan sesuatu yang sangat mungkar." (75) Bukankah sudah kukatakan kepadamu, bahwa engkau tidak akan mampu sabar bersamaku? (76) Dia (Musa) berkata, "Jika aku bertanya kepadamu tentang  sesuatu setelah ini, maka jangan lagi engkau memperbolehkan aku menyertaimu, sesungguhnya engkau sudah cukup (bersabar) menerima alasan dariku."

3. Nabi Khidir membetulkan rumah yang hampir roboh
"(77) Maka keduanya berjalan, hingga ketika keduanya sampai kepada penduduk suatu negeri, mereka berdua meminta dijamu oleh penduduknya tetapi mereka (penduduk negeri itu) tidak mau menjamu mereka, kemudian keduanya mendapatkan dinding rumah yang hampir roboh (di negeri itu), lalu dia menegakkannya. Dia (Musa) berkata, "Jika engkau mau, niscaya engkau dapat meminta imbalan untuk itu." 

Jika dilihat dari ayat-ayat tersebut bisa dikatakan bahwa Nabi Musa memiliki sikap yang tidak sabaran hingga selalu ditegur oleh Nabi Khidir. Hingga kemudian akhirnya mereka pun berpisah. 

"(78) Dia berkata, "Inilah perpisahan antara aku dengan engkau, aku akan memberikan penjelasan kepadamu atas perbuatan yang engkau tidak mampu sabar terhadapnya." (79) Adapun perahu itu adalah milik orang miskin yang bekerja di laut; aku bermaksud merusaknya, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang akan merampas setiap perahu. (80) Dan adapun anak muda (kafir) itu, kedua orang tuanya mukmin, dan kami khawatir kalau dia akan memaksa kedua orang tuanya kepada kesesatan dan kekafiran. (81) Kemudian kami menghendaki, sekiranya Tuhan mereka menggantinya dengan (seorang anak lain) yang lebih baik kesuciannya daripada (anak) itu dan lebih sayang (kepada ibu-bapaknya). (82) Dan adapun dinding rumah itu adalah milik dua anak yatim di kota itu, yang di bawahnya tersimpan harta bagi mereka berdua, dan ayahnya seorang yang saleh. Maka Tuhanmu menghendaki agar keduanya sampai dewasa dan keduanya mengeluarkan simpanannya itu sebagai rahmat dari Tuhanmu. Apa yang kuperbuat bukan menurut kemamuanku sendiri. Itulah keterangan perbuatan-perbuatan yang engkau tidak sabar terhadapnya."


From the two stories above, I tried to contemplate further. Until I  finally found something I have never realized it before. I have prayed to Allah like,

"Ya Allah please give me the place which can make me come closer to You, can develop my self to be better, taught me to keep grow and learn more."

And Allah answered my prayer with gave me this new situation. Maka tidak sepatutnya aku terus menyalahkan Allah atas apa yang menjadi milikku saat ini. Bisa jadi apa yang terjadi pada saat ini adalah bentuk didikannya Allah langsung kepadaku untuk lebih dekat dengannya, membuat diri aku berkembang, tumbuh dan bisa mengambil ilmu sebanyak-banyaknya. Bukankah itu yang sebelumnya pernah aku pinta pada Allah? Lantas saat Allah beri didikannya, mengapa aku harus marah-marah dan merasa diri ini tidak layak? Bagaimana bisa aku mencapai diri aku yang bisa dekat dengan Allah, berkembang, bertumbuh, dan jadi pembelajar sejati jika diberi ujian/pembelajaran aku selalu marah dan tidak menerimanya? Sudah seharunya aku belajar dari Na Hee Do yang ingin meraih juara 1 dengan melakukan berbagai latihan yang diberikan pelatihnya dengan kerja keras, sungguh-sungguh dan konsisten. Dari Nabi Musa aku belajar bahwa di atas langit masih ada langit, bersabar atas sesuatu hal yang belum diketahui. 

Karena hidup sejatinya begitu. Selalu memberikan kita ujian, cobaan tanpa kita tahu maksud dari semuanya itu untuk apa. Dan kita akan menyadarinya jika kita telah melalui cobaan atau ujian itu. Maka ada benarnya saat menghadapi ujian atau cobaan yang Allah beri, kita sebagai hambanya mau tidak mau harus bersabar, berusaha, tidak putus asa, dan tetap semangat. 

Bukankah tujuan kita setelah hidup di dunia ini kita ingin masuk ke dalam Surganya Allah? Lantas jika diberi ujiannya saja sebagai syarat kita latihan untuk menuju ke sananya tidak kita lakukan secara sungguh-sungguh, malah banyak protesnya, marahnya apa bisa kita mendapatkan Surga? 

"(yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka berkata "Inna lillahi wa inna ilaihi rojiun" (sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nyalah kami kembali). (Q.S Al-Baqarah 156)

"Ataukah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga padahal belum datang kepadamu (cobaan) seperti (yang dialami) orang-orang terdahulu sebelum kamu. Mereka ditimpa kemelaratan, penderitaan, dan diguncang (dengan berbagai cobaan), sehingga rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya berkata: " Kapankah pertolongan Allah datang?" Ingatlah sesungguhnya pertolongan Allah  itu dekat." (Q.S Al-Baqarah 215)

Ya Allah aku benar-benar meminta petujukmu sebagai leader hidupku saat ini sampai nanti aku mati, jangan biarkan aku berjalan sendiri tanpa bimbingan-Mu. Mulai saat ini aku hanya ingin tetap berusaha, berikhtiar, bersabar dan mengurangi segala bentuk pesimis dalam diri ini. Karena Engkau telah menempatkan sesuatu yang baru bagi aku, maka itu artinya Engkau yakin aku bisa melaluinya dan bisa meraih apa yang selama ini aku pinta. 

Jika Na Hee Do yang menginginkan menjadi juara 1 tapi dia tidak berjuang dan tidak meminta pelatihnya untuk melatihnya apa bisa dia meraih apa yang diinginkannya? Bukankah karena semangatnya dan tetap melakukan apa yang dipinta oleh pelatihnya tanpa banyak protes ia akhirnya bisa meraih mendali emas dan dibanggakan oleh rakyat Korea?

Jika Nabi Musa tidak belajar kepada Nabi Khidir, akankah Nabi Musa menyadari bahwa ada orang lain yang ilmunya lebih tinggi daripada dirinya sendiri? Bukankah dengan bertemu dan belajar kepada Nabi Khidir, Nabi Musa jadi sadar bahwa ternyata ada orang lain yang ilmunya lebih tinggi daripadanya?

Maka pertanyaan yang sama pun aku ajukan pada diriku sendiri, jika aku menyerah, berbalik arah, dan menyia-nyiakan kesempatan yang Allah beri, apakah aku bisa mencapai isi dari doaku? 

Just do it with all of your heart. Give the best because of Allah. Don't give up please. You will find a lot of magics from every process you do, insya allah. If you fall please get up. Fall, get up again. Until finally you get tired because what you did and see how the beautiful things will happen!


Love,
Ihat

Share:

Ketika Aku Merasa Minder

Photo by Nate Neelson on Unsplash


Bismillahirrahmanirrahiim

Di awal-awal kepindahan aku ke Bandung, setiap pulang dari tempat kerja pasti kerjaanku kalau gak bengong sendiri di kostan ya nangis. Kemudian nelfon temen di asrama, orang rumah biar gak ngerasa sepi atau aku akan mengetik panjang kali lebar ditambah voice note yang durasinya cukup untuk dibikin podcast ke temen aku sambil agak sesegukan. Ternyata pindah kerja itu gak mudah ya. Berat! SANGAT BERAT! Aku harus adaptasi segalanya. Di mulai dari jam kerja yang kini lebih terjadwal dan ketat, soal makan yang harus beli sendiri/masak sendiri, pindah ke kostan yang benar-benar mendidik aku untuk hidup lebih mandiri lagi (It's very different when I stayed at dormitory. You can ask for helping to your friends), lingkungan kerja yang baru tentunya dengan tugas baru bagi aku, dan teman-teman baru tentunya. Kalau urusan kesulitan ini aku enggan bercerita ke orang tua (walau pada akhirnya aku pun menceritakan kesulitan-kesulitan aku selama di sini meski hanya garis besarnya saja karena sungguh aku tidak sampai hati mengatakannya) maka ya tentu seluruh hal yang aku rasakan saat itu aku ceritakan hanya pada teman dekatku saja. Dari seluruh kesulitan-kesulitan itu yang paling terasa mencekikku dan membuat aku sempat kehilangan percaya diri adalah teman-teman baru aku: yang rata-rata lulusan PTN ternama, sedang/sudah sekolah tingkat Master, berasal dari keluarga menengah ke atas, sudah pernah ke luar negeri. Sedangkan aku? Maka saat fikiran itu datang yang ada adalah aku terus membuat diriku terpuruk dan makin terpuruk oleh fikiran buruk aku sendiri. Padahal pada saat training semuanya baik-baik saja bahkan kami pun berteman baik dengan saling berbagi pengalaman. Jelas akunya saja yang sudah keburu menutup diri, memandang orang lain lebih special. Padahal diri ini pun tak kalah specialnya. Astaghfirullah.

Berkali-kali teman aku itu mencoba mengingatkan aku bahwa Allah tak pernah membuat produk gagal. Kamu special dan di dunia ini hanya ada kamu seorang. Tak ada orang yang benar-benar sama dengan kamu. Kamu terpilih di sana berarti kamu mampu menghadapi karena Allah tidak akan memberikan suatu ujian di luar batas kemampuan hambanya. Bahkan surat yang dikirimkannya selalu aku baca kembali jika rasa minder aku kembali kambuh.

Seketika rasa minder aku mulai lenyap. Tapi keesokan harinya rasa minder itu muncul lagi hingga pada saat training tak jarang aku kehilangan konsentrasi. Bahkan untuk sekedar giving opinion terasa sulit untuk bisa aku lakukan. Aku kembali merendahkan diriku sendiri. Aku kan cuma dari kampung, kuliah  aja sambil kerja, untuk bisa jalan-jalan ke luar kota aja belum mampu, gak ada yang special dari diri aku. Batinku dalam hati dan seluruh fikiran-fikiran positif malah hilang dan lenyap gara-gara perkataan negatif aku pada diriku sendiri. 

Capek? Tentu saja capek. Aku kesulitan untuk tidur. Bahkan kalaupun tertidur aku akan terbangun di tengah malam sekitar pukul 01.00 dini hari atau pukul 01.30. Lalu aku kesulitan untuk memejamkan mata lagi, hingga baru bisa tertidur saat jarum jam menunjukan pukul 03.30. Melelahkan sekali. Sangat melelahkan. Dan hal ini terus terjadi berturut-turut selama satu minggu. 

Setelah satu minggu terlewati, lambat laun aku bisa menerima kondisi lingkungan aku sekarang. Meski aku tak bisa seutuhnya menenangkan diriku jika rasa minder kembali menerpa, tapi setidaknya sudah agak membaik dan aku sudah jarang menghubungi temanku untuk menceritakan hal yang sama karena jawabannya pasti sama. 

Suatu hari aku hanya berniat bertanya suatu hal pada temanku yang lain yang hampir satu bulan ini tidak ada komunikasi. Aku kira komunikasi kita akan terhenti pada inti pertanyaanku tapi nyatanya tidak. Rupanya Allah tengah memberiku jawaban melalui temanku ini. 


(A : Aku, D : temanku)

A : Di sini temen-temen aku rata-rata high class hihiii. Aku awalnya sempet minder

D : Wah? Bagus dong. Berbagi dengan mereka tentang kesederhanaan. Ada masanya orang-orang high class bosan dengan kemewahan. Yang mereka punya dan bakal anggap yang sederhana itu lebih mewah. Jadi kita pede dengan versi kita. Mau gaul sama yang high class ya no problem yang penting kita punya kualitas. Bener enggak? Hihiii

A : Waduh aku gak pernah kefikiran ke sana. Pantesan beberapa dari temen aku sempet kebingungan dengan masa kerja aku sama kuliah yang berbarengan. Aku jawab ya aku kerja sambil kuliah. Ketua yayasannya pun menanyakan hal yang sama sampai kemudian ditulis bahwa aku pernah kerja sambil kuliah. Padahal bagi aku itu tuh hal biasa meski pada kenyatannya dulu sangat sulit dan capek luar biasa wkwkkw.

D : Nah iya kan gitu. Jadi sebenarnya tiap orang punya high class nya tersendiri dengan versi kita masing-masing 😃. Makannya pede aja. Kalau gaul sama siapa aja. Nah itu kan sulit dan capek luar biasanya jadi nilai plus kualitas yang lebih buat kita. 


Aku sempet nangis pas dikasih balasan begitu yang pada akhirnya aku berhasil mengeluarkan diriku dari rasa minder. Kemudian aku teringat pada sebuah penggalan hadits yang berbunyi:

"Lihatlah orang yang berada di bawahmu dan jangan melihat orang yang berada di atasmu, karena yang demikian itu lebih patut agar kamu tidak meremehkan nikmat Allah yang telah diberikan untukmu." (H.R Bukhari dan Muslim)

Padahal namanya manusia pasti ada sisi kekurangan dan kelebihan. Di dunia ini mana ada yang sempurna. Gak akan ada. Bukan kah manusia diciptakan dengan kondisi yang berbeda-beda agar bisa saling melengkapi satu sama lain? Mengapa aku tidak pernah terfikir hal ini sebelumnya hingga harus menutup akses pertemanan dan memblokir diriku di dalam lingkaran yang aku ini itu "gak ada apa-apanya dibandingkan mereka."

Wahai diri. Aku tahu aku salah. Tak seharusnya aku membandingkan kamu dengan yang lain. Yang sungguh sudah berbeda dari garis startnya juga. Saat ini kamu hanya perlu belajar tekun, terus memperbaiki yang kurang, semampunya, sebisanya, dan berikan yang terbaik. Biar hasil Allah yang tentukan. Karena baik dan buruknya hanya Dia yang tahu dan kewajiban kita hanya berikhtiar, berdoa, kemudian bertawakal.

Meski rasa ingin menyerah selalu saja datang menghampiri, ingat ada hidup kamu sendiri yang harus diperjuangkan, ada orang-orang tersayang kamu yang kini sudah mulai memasuki usia renta, yang waktunya mungkin tak akan lama lagi maka berikan yang terbaik untuk mereka. 

Sungguh hidup ini tak mudah. Meski harus dijungkir balikan, di posisi manapun kesulitan maupun kemudahan akan selalu ada dan berjalan beriringan.

"Karena sesungguhnya setelah kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya setelah kesulitan itu ada kemudahan." (Q.S Al-Insyirah 5-6)

Allah please don't ever leave me alone. I know I'm just a weak servant. All this happened because of Your will. So help me, guide me, and convince me that I can get through all of this. 

Mari perbanyak bersyukur, jangan malah makin insecure. Fighting!

Love, 

Ihat

Share:

Cari Rezeki Di mana Aja

Photo by Gijs Coolen on Unsplash



Bismillahirrahmanirrahiim

Three weeks ago I visited West Java Public Library (Perpustakaan Umum Jawa Barat) located at Jl. Kawaluyaan Indah II No. 4 Soekarno Hatta Bandung, West Java by using ojol. I was so amazed when I arrived there because the building is awesome! Bangunannya tinggi, terdiri dari 4 lantai, petugasnya yang ramah, protokol kesehatannya juga ketat (masuk ke gedung ini harus dibuktikan dengan aplikasi PeduliLindungi atau kartu vaksin dosis 2 pas waktu aku ke sana), dicek suhu juga, dan waktu itu sayangnya aku cuma bisa masuk di area lantai satunya aja karena masih pandemi belum bisa main ke lantai atas. Jadi cuma bikin kartu anggota aja deh habis itu pulang lagi. 

Dikesempatan yang baik ini, bukan itu sih inti yang ingin aku share ke temen-temen semua. Yang aku ingin share adalah cerita pas perjalanan menuju ke Perpustakaannya. Ok, because I don't have private vehicle so I chose ojol. Selama perjalanan Mamangnya nanya-nanya soal,

"Boleh gak jalannya ke sini?"

"Jalannya ke sini aja ya gak apa-apa? Biar cepat."

Dan aku cuma jawab,

"Iya Pak."

"Ya gak apa-apa Pak asal sampai aja." Dengan mata yang lirik kiri-kanan, melihat-lihat jalan yang dilalui. Karena memang sejatinya aku gak tahu ini jalannya ke mana dan harus ke mana jadi ya udah terserah Mamang Ojolnya aja yang penting sampai di tempat tujuan.

Hingga kemudian si Mamangnya mulai nanya-nanya, apa aku kuliah, kerja, dll yang kemudian aku bilang sendiri ke si Mangnya bahwa aku bukan asli orang Bandung.

"Oh bukan orang Bandung, dikira teh orang Bandung. Pantesan saya tanya jalannya dari tadi Tetehnya jawab ngikut aja." 

"Hee iya Pak maaf. Soalnya saya baru pindahnya juga."

"Asli mana gitu Teh?"

"Asli Tasik Pak."

"Oh Tasik. Tasiknya di mana?"

"Tasik kota." 

"Oh iya geningan orang Tasik. Sami abi oge ti Tasik Teh." (Oh iya ternyata orang Tasik. Sama saya juga dari Tasik.)

Si Mamang ojolnya langsung ganti jadi pakai bahasa Sunda dan aku agak terkejut bercampur senang karena bertemu dengan orang yang sama dari daerah asal. 

"Oh gitu ya Pak. Bapak Tasikna di mana? Atos lami di Bandungna?" (Oh gitu ya Pak. Bapak Tasiknya di mana? Sudah lama tinggal di Bandungnya?)

"Abi mah Tasikna di ujung. Nembe satahun Teh. Pami istri sami ti Tasik kota." (Saya Tasiknya di ujung. Baru satu tahun Teh. Kalau istri sama dari Tasik kota.)

"Oh jadi istri Bapak mah aslina ti Tasik Kota." (Oh jadi istri Bapak aslinya dari Tasik Kota)

"Muhun calikna ge ayeuna diditu sareng pun anak." (Iya tinggalnya juga sekarang sama di sana sama anak juga)

Aku mengerutkan kening. Tinggal di sana?

"Jadi Bapak sama istri LDR gitu? Tasik-Bandung?"

"Iya Teh. Seminggu atau dua minggu sekali baru pulang ke Tasik."

"Di sini Bapak nge kost?"

"Iya saya di sini nge kost Teh. Teteh di Bandung sama saudara atau ada saudara?"

"Oh gitu ya Pak. Keren-keren. Saya di Bandung nge kost dan gak ada saudara."

"Kenapa jauh-jauh ke Bandung kerjanya? Kenapa gak di Tasik aja?"

"Hehee. Udah rezekinya kali Pak. Soalnya saya kemarin di Tasik gak nemu-nemu."

"Iya ketang gak apa-apa. Nyari rezeki mah di mana aja asal halal. Saya juga nyari penumpang di Bandung enggak di Tasik. Nyari pengalaman sama suasana baru."

"Iya ya pak."

"Iya Teh. Kan bumi Allah itu luas. Di mana pun juga kita bisa cari rezeki di sana. Selama itu halal dan barokah."

Aku hanya diam sambil mengangguk-anggukkan kepala. Dalam hati, keren ini si Bapak. Berani LDR sama istrinya demi mencari nafkah. 

Tak terasa perbicangan kami pun akhirnya harus terhenti karena sudah sampai di lokasi. 

"Pokoknya mah jangan takut. Inysa allah selalu ada rezekinya." Tutup si Bapak begitu aku mengembalikan helmet dan menyerahkan uang kepada si Bapak ojol tersebut.  

Aku langsung teringat pada satu ayat dalam Al-Qur'an,

"Apabila sholat telah dilaksanakan, carilah karunia Allah maka bertebaranlah kamu di bumi dan ingatlah Allah banyak-banyak agar kamu beruntung." (Q.S Al-Jumu'ah : 10)

Ayat ini memang kaitannya adalah dengan Sholat Jum'at. Namun yang menjadi inspirasi bagi aku adalah di kalimat "carilah karunia Allah maka bertebaranlah kamu di bumi." Selain itu di ayat lain, di Q.S An-Nisa ayat 97 Allah berfrman,

"...Mereka (para malaikat) bertanya: "Bukankah bumi Allah itu luas sehingga kamu dapat berhijrah (berpindah-pindah) di bumi itu?"...." 

Dua ayat ini yang memotivasi aku untuk akhirnya memutuskan hijrah ke Bandung. Meski memang terasa berat, namun karena ingin mendapatkan hal yang lebih (bukan soal materi saja, pengalaman dan ilmu tentunya yang tidak bisa terganti nilainya) dan karena tadi bertemu si Mamang Ojol aku jadi semakin semangat. Beliau saja rela meninggalkan istri dan anaknya demi mendapatkan keuntungan yang lebih. 

Dan selama perjalanan pulang aku masih teringat obrolan dengan si Mamang Ojol itu. Kadang begitu ya Allah kalau mau nasehatin kita dengan cara apa saja. Bisa jadi perbincangan tadi dengan Mamang Ojol adalah cara Allah menyemangatiku atas keputusan yang sudah aku ambil. Thanks Allah. Alhamdulillah. 

Untuk kamu yang saat ini berjuang dan menjadi anak rantau tetap semangat ya! Hal yang harus aku relakan adalah berpisah dengan keluarga dan ini sangat jauh sekali dengan pengorbanan si Bapak ojol tadi yang harus berpisah dengan anak istrinya. Karena sejatinya apapun yang akan kita dapatkan tentunya harus  ada yang kita lepaskan. 

Love,

Ihat

Share:

Membaca Kembali Isi Surat

 

Photo by Andrew Dunstan on Unsplash


Malam ini entah kenapa perasaan aku sendu. Entah mungkin rindu atau bagaimana yang jelas setelah melihat memori-memori beberapa tahun belakang. Tersenyum, tertawa, menitikkan air mata begitu satu persatu foto-foto itu muncul di layar laptop. Aku tahu waktu yang telah hilang tak akan pernah bisa kembali. Mungkin dengan seperti ini salah satu caranya agar bisa kembali mengingatnya. Mustahil kan untuk bisa kembali ke masa lalu dengan menggunakan mesin waktu seperti Nobita yang meminta bantuan kepada Doraemon?

Hal yang paling menyesakkan sampai saat ini adalah surat ucapan kelulusan atas wisudaku satu tahun yang lalu yang ditulis oleh anak-anaku, FULATION. Surat yang ku baca untuk pertama kalinya pada malam hari setelah siangnya acara wisuda dan saat itu perasaanku meledak. Aku menangis tersedu-sedu. Hinga barusan, saat aku tak sengaja menemukannya kemudian kembali membacanya rasanya masih sama; masih meneteskan air mata. Terima kasih sudah mau direpotkan dan diajak kerja sama. Aku gak tahu lagi harus berkata apa karena tak ada yang bisa menggantikan kalian.

Semoga urusan-urusan kalian dipermudah ya anak-anak. Mari sama-sama kembali lagi berjuang walau tak lagi bergandengan tangan. Mari sama-sama berdoa meski jarak yang memisahkan. Mohon maaf atas segala khilaf yang pernah dilakukan. Terima kasih untuk suratnya yang membuatku kembali percaya diri untuk terus berjuang!

Tonight let me share about the letter from my students.



Love,

Ihat

Share: