Perkara Kehilangan

Photo by Eugenia Remark

Hari itu kami harus merampungkan agenda-agenda kegiatan untuk satu minggu ke depan. Sambil menyusun agenda kegiatan entah dari mana tiba-tiba obrolan kami sampai pada hal-hal pengalaman masing-masing.

“Saya dulu pernah Bu, uang tiba-tiba hilang, barang-barang pun begitu. Ditinggal sebentar saja barang-barang sudah raib. Setiap harinya akan selalu ada barang ataupun uang yang hilang. Hanya yang saya ingat sampai sekarang adalah ketika Bapak saya bilang, tidak apa-apa harta hilang yang penting keluarga tetap berkumpul dan bersatu.”

Aku hanya mengangguk, mendengarkan dengan seksama ceritanya kemudian dicerna pelan-pelan.

“Wah betul tuh Pak, masih ada hal yang harus disyukuri meski harta tiap hari hilang entah ke mana.”

“Iyalah Bu, perkara uang hilang kan kita hampir aja saling tuduh satu sama lain. Hanya saja ketika kita semakin kuat dengan ujian yang Allah berikan, waktu itu keluarga jadi lebih solid juga dan kita sudah tidak merasa takut lagi akan kehilangan apa-apa, karena hakikatnya apa yang kita miliki adalah hanya sebuah titipan, tiba-tiba berhenti. Barang-barang aman, tidak ada lagi yang hilang. Usut punya usut ternyata, biasa ada orang yang iri dengan keluarga kita.”

 “Kalau aku Pak, dulu tuh pernah dicopet hp. Jadi waktu itu baru banget sekitar 5 hari beli hp dan uangnya itu aku pinjem ke temen. Totalnya pokoknya sekitar dua juta lah, pulsa banyak banget, kuota juga baru ngisi full, nomor hpnya juga nomor cantik. Raib sudah dicopet pas perjalanan pulang menuju asrama setelah pulang dari rumah. Nangis kejer, kebayang harus nyicil uang yang barangnya sendiri udah gak ada, mana spp kuliah juga aku harus bayar. Ah rasanya dunia kayak mau berakhir. Itu dulu pas aku umur 19 tahun. Padahal dulu kepaksa buat beli hp karena hp yang akunya udah rusak, tiap dipake buat nugas mati lagi, mati. Cuma baru sekarang sih kerasa banget hikmahnya. Bahwa dengan cara hp aku dicopet itu Allah sebenarnya lagi ngajarin aku biar aku tuh bisa lebih hati-hati lagi. Kebayang sih kalau dulu kalau gak dikasih ujian itu, kayaknya aku bakal bener-bener teledor dan bisa jadi ada hal yang harus hilang dan harganya lebih dari itu. Semenjak kena copet itu, aku jadi lebih hati-hati lagi tiap mau naik angkutan umum, terus kalau pinjam barang punya temen, atau kalau misal nih aku butuh barang atau sesuatu kemudian udah mendesak banget dan shortcutnya itu adalah mau gak mau aku harus pinjem misal ke temen. Aku langsung mikir kayak, Ya Allah, Engkau ridha tidak. Aku gak mau karena Engkau tidak Ridha, aku diuji dengan hal serupa lagi seperti dulu.”

Sampai kemudian aku berefleksi bahwa dari sebuah kehilangan ada hal yang ingin Allah ajarkan. Meski tersirat namun perlahan semuanya akan tersurat. Seperti temanku yang harus kehilangan harta dan juga barang setiap harinya namun rupanya Allah mengajarkan kepada mereka tentang arti dari sebuah kehadiran dan kekompakkan keluarga. Kemudian dari kasusnya hp aku yang dicopet, mungkin Allah mengajarkan aku untuk lebih berhati-hati dan tidak menginginkan lebih atas sesuatu hal. Karena saat kita berlebihan atas hal yang bersifat fana itu hanya akan membuat hati kita sakit. Lupa bahwa seharusnya dalam menginginkan hal-hal yang besifat duniawi itu tarafnya adalah “sewajarnya.” Sehingga ketika harus pergi, atau tidak menjadi milik kita, hati kita tidak kecewa. Karena dari awal kita sudah menyimpan perasaan “sewajarnya” dan juga menyakini bahwa hal-hal tersebut bisa hilang dan tak kembali.

“Dan janganlah kamu mengatakan orang-orang yang terbunuh di jalan Allah (mereka) telah mati sebenarnya (mereka) hidup tetapi kamu tidak menyadarinya. Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan dan kelaparan, dan kekurangan harta dan jiwa dan buah-buahan dan sampaikanlah kabar gembira (kepada) orang-orang yang sabar. (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah mereka berkata “innalillahi wa inna ilaihi rojiun”(sesungguhnya kami milik Allah dan sesungguhnya kami hanya kepada-Nyalah akan kembali).” (Q.S Al-Baqarah 154-156)


Love,

Ihat

0 Comments