Showing posts with label Books. Show all posts
Showing posts with label Books. Show all posts

My New Project on Storial.co



Hai! Sambil mengisi waktu ngabuburit selama bulan Ramadan. kali ini insha allah aku akan mengisinya dnegan menulis proyek terbaru aku di Storial.co berjudul The Answer for My Prayers. Proyek ini merupakan proyek untuk kompetisi yang diadakan oleh Storial berjudul Kejutan Sebelum Ramadan.

Segala bentuk komentar dan saran yang membangun sangat aku tunggu ya! 

Love,

Ihat

Share:

Rentang Kisah – Gita Savitri Devi

doc.pribadi

Before deciding to buy this book, aku sempet galau karena sebelumnya I had watched this movie. Iya udah tahu kan jalan ceritanya dari film pasti gak jauh beda dari bukunya kan? Gitu fikirku. Cuma akhirnya aku membeli juga buku ini karena aku yakin pasti ada kata-kata yang lebih nyentuh ke hati dari buku ini yang biasanya gak ada di film atau emang akunya aja yang gak fokus nonton sehingga bagian pentingnya ke skip. And after reading this book? Boom!

Buku Rentang Kisah ini sendiri berkisah tentang pengalamannya Kak Gita Savitri Devi dari mulai dia SMA, bingung mau kuliah kemana, jurusannya apa, kemudian tiba-tiba ditawari kuliah ke Jerman, bagaimana hidup di Jerman, dan juga kisah asmaranya hingga pertemuannya dia dengan Paul yang kini menjadi suaminya.

I particularly liked about this book because this book use simple words, easy to understand, to the to point, tidak terkesan menggurui, dan lebih ke membuat aku sebagai pembaca banyak introspeksi diri. Besides, the thing that I disliked from this book is the font size used is a bit too large. I would highly recommend this book to young adult, especially for the students in senior high school.

I give this book 5 stars.

Here some my favourite quotes from this book:

Kita belum tentu mendapatkan apa yang kita mau. Ketika itu terjadi, kita harus bisa menerima dan menghadapinya dengan bijaksana atau nggak akan pernah belajar tentang apa-apa dari hidup ini. – hal 51

Aku pun selalu bilang kepada diri sendiri untuk selalu percaya dengan apa pun yang Allah SWT kasih. Karena hal tersebut semata-mata hanyalah untuk kebaikanku sendiri. – hal 158  

Blurb

Apa tujuan hidupmu?

Kalau itu ditanyakan kepadaku saat remaja, aku pasti nggak bisa menjawabnya. Jangankan tujuan hidup, cara belajar yang benar saja aku enggak tahu. Setiap hari aku ke sekolah lebih suka bertemu teman-teman dan bermain kartu. Aku nggak tahu apa yang menjadi passion-ku. Aku sekedar menjalani apa yang ibu pilihkan untukku-termasuk melanjutkan kuliah di Jerman.

Tentu bukan keputusan mudah untuk hidup mandiri di negara baru. Selama 7 tahun tinggal di Jerman, banyak kendala aku alami; bahasa Jerman yang belum fasih membuat proses perkuliahan menjadi berat, hingga uang yang pas-pasan membuatku harus mengantur waktu antara kuliah dan kerja sambilan.

Semua proses yang sulit itu telah mengubahku; jadi mengenal diri sendiri, mengenal agamaku, dan memahami untuk apa aku ada di dunia. Buatku, kini hidup tak lagi sama, bukan hanya tentang aku, aku, dan aku. Tapi juga, tentang orangtua, orang lain, dan yang paling penting mensyukuri semua hal yang sudah Tuhan berikan.

The purpose to live a happy life is to always be grateful and don’t forget the magic words: ikhlas, ikhlas, ikhlas.

Thank You!

Ihat

Share:

I WANT TO DIE BUT I WANT TO EAT TTEOKPOKKO - BAEK SE HEE

 

doc.pribadi


Book identity
Judul: I Want to Die but I Want to Eat Tteokpokki
Penulis: Baek Se Hee
Penerjemah: Hyacinta Louisa
Bahasa: Indonesia
Penerbit: PT Haru Media Sejahtera
Catakan kedua puluh empat, Januari 2022
Hal: 236 Hal 
Genre: Self Improvement


Blurb
Aku:  Bagaimana caranya agar bisa mengubah pikiran bahwa saya ini standar dan biasa saja?
Psikiater: Memangnya hal itu merupakan masalah yang harus diperbaiki?
Aku: Iya, karena saya ingin mencintai diri saya sendiri
 
I Want to Die but I Want to Eat Tteokpokki adalah esai yang berisi tentang pertanyaan, penilaian, saran, nasihat, dan evaluasi diri yang bertujuan agar pembaca bisa menerima dan mencintai dirinya.
Buku self improvement  ini mendapatkan sambutan baik karena pembaca merasakan hal yang sama dengan kisah Baek Se Hee sehingga buku ini mendapatkan predikat bestseller di Korea Selatan.


This book tells us….
I Want to Die but I Want to Eat Tteokpokki merupakan sebuah buku yang ditulis oleh Baek Se Hee, penulis asal Korea Selatan, yang menceritakan tentang catatan pengobatannya yang terjangkit distmia atau gangguan distimik (kondisi di mana penderitanya mengalami depresi ringan yang berkepanjangan dan terus-menerus). Hal 12.


What I particularly liked about this book…
Membaca buku ini sama seperti sedang membaca diary seseorang, mostly the content of this book is about conversation between the writer and her psychiatrist during the treatment process. Dari dialog-dialog inilah banyak sekali hal-hal yang bisa kita ambil. Diantaranya adalah bagaimana cara kita menerima dan mencintai diri kita sendiri. Besides, there are many her reflections after the conversations yang membuat aku sebagai pembaca jadi ikut merenung dan kembali berkaca pada diri sendiri. Isi bukunya juga tidak teoritis hanya berisi percakapan apa adanya berdasarkan pengalaman pasien dengan psikiaternya dan yang dibahasnya pun sangat relate dengan kehidupan sehari-hari. (Started from less confident, overthinking, membandingkan hidup dengan orang lain, pekerjaan, and many so on. Please read this book!)

Dari segi cover, menarik. Font tulisannya juga bagus, enak untuk dibaca. Kemudian untuk hal-hal penting tulisannya dibold dan juga diberi highlight dengan warna merah. Ada pembatas bukunya juga, menghindari dari melipat-lipat kertas sebagai tanda batas baca.


What I disliked about this book…
Bahasanya kaku (contohnya: aku tidak tahu kenapa aku berbicara tajam seperti ini. Hal 136), baku dan ada beberapa istilah psikiatri yang tidak dijelaskan secara definisi.


The last…
I would highly recommend this book to new adult and adult, yang sedang bertahan dan memperjuangkan hidupnya to keep sane. Exactly, being an adult is not easy. By reading this book I think you can find the formula to face it.    
I give this book 5 starts.
 

Penyebab utamanya adalah karena anda terlalu mengkhawatirkan apa yang dipikirkan oleh orang lain. Akibatnya, kepuasan terhadap diri anda sendiri pun menurun. Padahal, hidup anda adalah milik anda sendiri. Tubuh anda adalah milik anda dan andalah yang sepenuhnya bertanggung jawab atasnya. Hal 61

Hanya ada satu ‘aku’ di dunia. Dengan begitu aku adalah sesuatu yang amat special. Diriku adalah sesuatu yang harus aku jaga selamanya. Diriku adalah sesuatu yang harus kubantu secara dengan perlahan, kutuntun selangkah demi selangkah dengan penuh kasih sayang dan kehangatan. Diriku adalah sesuatu yang butuh istirahat sesaat sambil menarik nafas panjang atau terkadang butuh cambukan agar bisa bergerak ke depan. Aku percaya bahwa aku akan menjadi semakin bahagia jika aku sering melihat ke dalam diriku sendiri. Hal. 111

Sepertinya kehidupan adalah suatu proses pembelajaran untuk menerima hal-hal yang terjadi pada kita. Aku pun terpikir bahwa kemampuan untuk menerima dan pasrah bukanlah sesuatu yang bisa muncul hanya pada masa-masa tertentu dalam hidup saja. Kedua hal itu adalah suatu tugas yang harus dipelajari dan dilatih terus-menerus selama hidup. Aku harus belajar dan berusaha untuk menerima diriku apa adanya. Hal. 201

 

Thank You!
 
Share:

Jomlo? Terlambat Menikah? Menunda Pernikahan? Ini Alasannya!

Photo by Ahmed Nishaath on Unsplash


Bismillahirrahmanirrahiim

Memasuki usia 24 tahun membuat saya terkadang harap-harap cemas. Kejutan apa yang akan saya terima di usia 24 nanti? Mengingat saya pernah membuat peta hidup dan di peta hidup saya, saya menulis bahwa saya akan menikah di usia 24 tahun. Hehee :D.

Oh berarti udah ada calonnya?

Waduh kalau ditanya begitu saya langsung jawab pelan, belum sambil geleng-geleng kepala dan nyengir. Disusul dengan ucapan, doakan saja ya. Dengan hati dongkol sebenarnya, mengingat saya menjomlo terlalu lama. Apalagi kalau lihat teman-teman sekolah sudah banyak yang menikah. Terkadang saya selalu berfikir, kenapa ya saya jomlo terus? Ah mungkin udah takdirnya kali, belum ketemu aja. That’s a simple reason. Tapi setelah kemarin saya baca buku Marriage With Heart yang ditulis oleh Elia Daryati & Anna Farida ternyata ada 8 alasan seseorang terlambat menikah atau menunda pernikahannya, hal. 57.

1. Pergeseran budaya

Saat ini sebutan perawan atau perjaka tua tidak mendatangkan efek seseram pada zaman dulu. Sudah mulai banyak orang yang tidak malu atau merasa biasa saja, apalagi ketika mereka memiliki karir yang terbilang bagus. Mereka akan lebih santai setelah hidup mandiri, terpisah dengan keluarga besar.

Jangan lihat ke kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya. Di sekitaran rumah saya yang seusia saya bahkan yang usianya di atas saya masih banyak yang memilih single. Mereka disibukkan dengan pekerjaan bahkan kebanyakan mereka pergi merantau. Meski ada beberapa tetangga yang suka nyinyir soal kenapa gak nikah-nikah, kebanyakan dari tetangga di sini memilih acuh tak acuh dan tak banyak komentar. Apalagi yang tau bahwa masing-masing dari kita ini sedang kuliah/sudah lulus kuliah, mereka selalu mendukung untuk mencari kerja dulu ketimbang nikah. Orang tua saya pun di rumah tidak menekan saya untuk segera menikah. Apalagi saya baru lulus kuliah dan tabungan habis karena dipakai kuliah. Jadi ya saya mau gak mau harus ngumpulin dulu modal. Heheheee 😀

2. Hitung-hitungan ekonomis

Ada yang merasa bahwa berumah tangga berarti siap-siap punya pengeluaran lebih. Dulu, kebanyakan perempuan menikah demi jaminan hidup. Kini kondisinya berbeda. Mulai banyak perempuan yang bukan hanya mandiri secara finansial, tapu juga menjadi tulang punggung keluarga. Dengan pertimbangan ini, sebagian berpendapat bahwa menikah berarti menghadirkan tanggungan ekonomis baru. Laki-laki tak kalah cemasnya dengan hitung-hitungan ini. Sebagai kepala keluarganya, bayangan akan tanggung jawab menafkahi anak, istri, bahkan keluarga besar istri tak jarang jadi mimpi buruk di sore hari.

What’s your opinion of this case? To be honest, iya sih saya suka mikir ke sana. Kadang fikiran saya gini, gaji sekarang saya aja buat sendiri udah pas-pasan apalagi nanti kalau sama suami dibagi dua? Dan hal ini gak cuma ada difikiran saya aja, teman saya yang dulunya pas masih single mikir begitu. Tapi sekarang pas udah nikah bahkan udah punya anak bilang ke saya, saya menghawatirkan hal-hal yang gak perlu saya khawatirkan. Ternyata saya, suami, dan anak masih bisa hidup sampai sekarang. Bahkan rezeki suami saya alhamdulillah lancar setelah menikah.

Lain halnya dengan kedua teman saya ini. Yang satu dulunya bekerja, punya penghasilan tiap bulan tentunya. Suka main sana-sini sama teman-temannya kalau habis gajihan. Setelah menikah dan punya anak, dia memilih sebagai ibu rumah tangga yang hanya fokus mengurus rumah dan anak. Suatu hari pas saya main ke rumahnya, dia berbisik kepada saya.

Enak ya masih single. Punya gaji dan bisa main sana-sini. Dulu juga saya pas kerja begitu. Bisa beli barang atau apapun yang saya mau. Sekarang karena saya udah gak kerja lagi, mau gak mau saya cuma bisa nunggu pemberian dari hasil kerja suami. Itupun harus dibagi-bagi.  

Saya cuma tersenyum masam mendengarnya. Padahal gak saya tanya ya, dia sendiri yang bilang begitu.

Berbeda dengan teman saya kedua. Setelah menikah, lantaran suaminya tidak memiliki penghasilan tetap mau tidak mau dia harus bekerja. Ditambah suaminya memiliki hutang yang cukup besar. Dia bilang sendiri ke saya, saya jadi harus bantu suami membayar hutang-hutangnya dengan gaji saya yang segini. Mungkin gajinya lebih besar kamu daripada saya.

Saya hanya mendengarkan tak banyak komentar. Teman saya yang inipun sama, dia tiba-tiba cerita sendiri ke saya begitu saya main ke rumahnya.   

Jujur sih alasan ini memang kerap menghantui saya. Padahalkan ya urusan rezeki udah Allah atur kadarnya berapa. Mamah sama Bapak suka bilang sama saya, setiap rumah tangga itu urusannya beda. Kalau soal ekonomi, seharusnya bisa diatasi bersama jangan memberatkan salah satu pihak. Nah menurut kalian gimana?

3. Takut Komitmen

Menikah berarti memperoleh kemerdekaan di satu sisi dan kehilangan kemerdekaan di sisi lain. Kebutuhan biologis dan kasih sayang terpenuhi, tapi di saat yang sama hadirlah tanggung jawab “kekitaan”. Setelah menikah, yang menjadi pemeran utama bukan lagi “aku” tapi “kita” atau “kami”. Banyak keputusan yang bisa diambil dalam hitungan detik oleh seorang bujangan, tapi jadi bahan diskusi berhari-hari ketika dia telah menikah…

Waw! Memang betul sih, dengar cerita dari teman-teman saya yang sudah menikah hal sepele pun bisa jadi masalah kalau dalam rumah tangga. Misal gegara lampu kamar antara dimatikan atau dinyalakan ketika tidur, urusan bersih-bersih rumah, mengasuh anak, sampai mencari nafkah. Semuanya butuh kesadaran dan tentunya komitmen. Kalau masih single kan bebas mau ngapain juga. Paling cuma komitmen sama dirinya sendiri.

4. Takut kehilangan teman

Untuk orang yang punya rutinitas kumpul-kumpul bareng teman, pernikahan bisa menjadi lampu merah otomatis. Walau tidak semua, umumnya orang yang sudah menikah – terutama perempuan – akan mengurangi intensitasnya kegiatan hang out bareng teman dan mengalokasikan waktu yang lebih banyak bersama keluarga.

Kalau saya pribadi untuk alasan ini enggak sih. Karena saya kurang suka kumpul-kumpul. Saya lebih senang diam di rumah. Makannya kadang kalau diajak main saya suka banyak nolaknya. Heheee.

5. Tidak percaya pernikahan karena trauma

Sebagian orang melihat pernikahan sebagai dunia yang penuh dengan kebahagiaan. Di sana ada pasangan suami istri yang saling sayang dan sehidup semati. Sebagian lagi melihatnya sebagai sumber masalah, bahkan bencana.

Saya ingat begitu teman saya membuka percakapan dengan kalimat seperti ini,

“Hat, jangan fikir kalau menikah itu enak, bahagia terus karena udah pasangan. Jangan bayangin hal-hal yang indah. Karena setelah menikah semua pintu akan terbuka. Baik dan buruknya.”

Kembali lagi saya cuma manggut-manggut sambil mendengarkan celotehannya. Dalam kalaimat pembukanya itu saya bisa menangkap, bisa jadi sebelum dia menikah dia membayangkan hal-hal yang indahnya saja tanpa memikirkan resiko A atau B yang harus siap ditanggung. Maka dari itu menurut saya, penting sekali sebelum kita memutuskan untuk menikah ada baiknya kita mempersiapkan diri dulu dengan rajin membaca buku soal menikah atau bertanya kepada orang yang sudah menikah terutama kepada orang tua kita. Saya sendiri dulu mikirnya begitu, lha buat apa nikah kalau misal ujung-ujungnya cerai? Apalagi kalau udah liat berita-berita di TV, sinetron yang membahas atau menceritakan mengenai KDRT, perceraian, perselingkuhan. Mamah cuma bilang gini sama aku, setiap pernikahan itu pasti akan berbeda jalannya, berbeda takdirnya. Kalau sudah tau dari awal akan cerai, siapa juga yang mau menikah? Kenapa orang-orang tetap mau menikah padahal misal orang di sekitarnya banyak pernihakannya yang gagal, yak arena orang itu tidak tau masa depan pernikahannya akan seperti apa.

Doc. Pribadi
6. Takut tidak bisa jadi pasangan yang baik

Pernyataan ini bisa dibalik: takut kalau ternyata pasangannya tidak baik. Model pernikahan yang tersaji tiap hari di berbagi berita adalah perceraian kalangan artis. Kasus perceraian yang terdaftar di catatan sipil atau Kantor Urusan Agama tak kalah banyak, namun bergulir tanpa pemberitaan. Informasi yang setiap hari kita peroleh turut membangun persepsi kita tentang pernikahan.

Kalau ini tentu saya juga suka suudzan duluan. Maka dari itu saya suka memotivasi diri saya agar selalu menjadi pribadi yang baik. Karena saya yakin dengan janji Allah dalam Al-Qur’an surat An-Nur ayat 26, wanita yang baik untuk laki-laki yang baik.

7. Tidak cukup uang untuk biaya resepsi

Menikah adalah saatnya menjadi raja dan ratu sehari. Rumah atau gedung disulap menjadi istana, hidangan istimewa disuguhkan, teman dan kerabat diundang, dan kabar tentang pesta besar pun disiarkan. Sudah pasti ongkosnya tidak murah, apalagi jika ada adat tertentu yang membuat pengeluaran jadi lebih besar.

Makannya saya dari mulai sekarang sudah niat dan komitmen buat nabung. Hehee. Meski jodoh belum ada dan kelihatan tapi soal uang kan harus sudah disiapkan dari sekarang. Kalaupun nanti uang udah terkumpul dan jodoh belum juga datang gak rugi juga kan? Apalagi saya tipikal yang inginnya nanti kalau nikah itu simple, gak terlalu memakan biaya yang besar dan lebih baik uangnya dijadikan bekal buat nanti sehabis nikah. Hehee.

8. Rahasia Illahi

Ada kalangan yang berpendapat bahwa usaha manusia yang paling menentukan, ada pula yang berkeyakinan bahwa Tuhan berkehendak sedangkan manusia menjalaninya.

Ini sih alasan yang memang paling dasar. Bahkan dari seluruh alasan-alasan di atas, alasan inilah yang menjadi berada diurutan atas bagi saya. Mungkin bisa jadi karena saya belum niat untuk menikah dan masih ingin menikmati hidup sendiri sembari sedikit-sedikit membantu keluarga. Karena saya mikirnya kalau sudah menikah akan sangat susah hanya untuk sekedar bisa main bersama keluarga. Pasti waktu akan banyak dihabiskan untuk mengurus suami dan anak.

Dari depalan alasan ini, adakah yang mewakili alasan teman-teman sekalian? Mari saling mendoakan, agar Allah selalu membantu kita di setiap urusan-urusan yang sedang kita hadapi.

Love,




Sumber:

Daryati, E & A. Farida. 2015. Marriage With Heart. Bandung: Penerbit Kaifa PT Mizan Pustaka

   

Share:

Bikin CV Ta’aruf Ala Dewi Nur Aisyah

Photo by João Ferrão on Unsplash


Bismillahirrahmanirrahiim

Waduh CV Ta’aruf? Udah kebelet nikah? Eh emangnya kebelet pipis? Bukanlah ya. Jadi kemaren-kemaren sempet penasaran aja gitu pas lagi bikin CV buat ngelamar kerja tiba-tiba aja sebuah ide terlintas dalam benak, kalau CV ta’aruf modelnya kayak gimana ya?  Dan pas buka lagi bukunya Mbak Dewi yang judulnya Awe-Inspiring Us, aku menemukan sebuah penanda buku dan pas aku buka dibagian yang ditandai tersebut ternyata itu membahas tentang CV ta’aruf. OMG, how can I forget this?! LOL!

Di dalam buku itu tepatnya di halaman 115, Mbak Dewi menuliskan secara singkat gambaran umum mengenai CV ta’aruf. Ok berikut ini cara membuat CV ta’aruf ala Mbak Dewi Nur Aisyah:

Pertama, profil diri. Pastinya ada profil diri kita sendiri ya. Nama, TTL, alamat, tempat bekerja, suku, golongan darah.

Saranku: kalian bisa memasukkan personal data kalian sedetail mungkin tapi yang perlu digaris bawahi janggan sampai memasukkan data palsu. Waduh bahaya banget tuh!

Kedua, gambaran fisik. Dalam kategori gambaran fisik ini, Mbak Dewi menyebutkan seperti tinggi badan, berat badan, warna kulit, tipe rambut, warna mata, riwayat penyakit, dsb.

Saranku: kalau nulis gambaran fisik kalian bisa tanyain ke orang terdekat kalian mengenai real nya diri kalian seperti apa. Karena kadang apa yang mereka lihat jelas berbeda dengan apa yang kita lihat. Apalagi soal fisik. Diingatkan lagi jangan sampai berlebih-lebihan apalagi memperbagus kondisi fisik yang tidak sesuai juga bisa bikin urusan runyam.

Ketiga, latar belakang pendidikan. Bisa disebutkan mulai dari jenjang SD. Bahkan kalau kataku dari TK juga boleh kalau mau, hehee. Asal jangan bohong aja. Dalam latar belakang pendidikan ditulis misal S1 padahal aslinya tamatan SMA.

Keempat, pengalaman kerja.

Kelima, daftar penghargaan/prestasi (kalau ada).

Keenam, gambaran keluarga.  Kalian bisa bahas soal ayah, ibu, kakak, adik kalian gimana.

Ketujuh, kriteria calon. Hihii. Ini yang paling ditunggu-tunggu. Well, sebelum beranjak menuliskan ini alangkah baiknya kalau kita udah nge list duluan dan udah difikirin mateng-mateng  mengenai kriteria calon seperti apa. Gak asal tulis yang penting dapet calon! Duh! Di dalam kategori kriteria calon, kata Mbak Dewi kita bisa menyebutkan mulai dari kriteria fisik ataupun hal lainnya seperti pendidikan, pekerjaan, suku, gambaran acara pernikahan, domisili ke depan, karier, target jangka pendek, dll.

Kedelapan, foto diri. Ini yang terakhir nih. Foto diri. Tapi foto dirinya yang terbaru ya. Jangan foto pas zaman UN SMA misal, hehee. Dan yang terpenting fotonya itu foto sendiri.

Begitulah cara membuat CV ta’aruf ala Mbak Dewi Nur Aisyah. Semoga bisa membantu kamu dan aku juga yang saat ini hendak membuat CV untuk ta’aruf. Heheeh. Kalau aku pribadi kayaknya masih harus dirumuskan mau apa aja yang ditulis di CV nya apalagi soal kriteria calon. Hihii. Tulisan di atas hanya ditambah dari opini dan juga saranku aja sih. Selebihnya itu terserah temen-temen sendiri mau dibikin seperti apa CV nya. Yang terpenting apa yang ditulis dalam CV itu bener-bener real dari dari kita sendiri yang apa adanya bukan ada apanya.

Terakhir, good luck! Semoga jodoh yang sedang diusahakan segera menemukan jalannya. Oh ya buat temen-temen yang punya ide lain/tambahan lain mengenari CV ta’aruf bisa komen di bawah ya.

Love,



Sumber:

Aisyah, D.N. 2018. Awe-Inspiring Us. Jakarta: Penerbit Ikon


Share:

#5 Awe-Inspiring Us - Dewi Nur Aisyah

Doc. Pribadi

Identitas Buku

Judul: Awe- Inspring Us

Penulis: Dewi Nur Aisyah

Penerbit: Penerbit Ikon

Motivasi Islami

Cetakan kesatu, Desember 2018

ISBN: 1978-602-51563-3-5

Sebenarnya buku ini udah lama aku beli dan udah tamat juga dibacanya. Cuma kemaren selama WFH dan pas habis wisuda itu aku baca lagi buku ini. Gak pernah bosan buat baca buku ini. Buku ini benar-benar membahas mengenai habis S1 mau ngapain? Ok dari mulai rencana buat lanjut kuliah lagi, bekerja, dan juga menikah. Pokoknya aku sangat merekomendasikan buku ini  buat temen-temen yang habis lulus kuliah S1. Tapi gak menutup kemungkinan buat yang masih kuliah juga bisa, jadi biar ada ancang-ancang gitu kalau habis lulus mau ngapain aja.

Selain itu menurutku buku ini juga tidak menggurui. Mbak Dewi menulis berdasarkan kisahnya sendiri, ditambah ada kata-kata mutiaranya dan juga didukung oleh dalil Qur’an dan Hadits. Bahasanya juga mudah dimengerti dan tidak jelimet gitu.

Blurb                                                                                    

“Setelah lulus kuliah lebih baik lanjut S2, menikah, atau bekerja, ya?”

“Menikah via taaruf atau keluarga?”

“Menentukan kriteria pasangan bagaimana?”

“Setelah menikah tetap bisa menggapai cita, apa bisa?”

Apabila kamu masih ragu menjawab sebagian atau seluruh pertanyaan tersebut, takut pilihanmu salah atau bahkan khawatir kelak masa depan tak membahagiakan, buku ini adalah jawabannya. AWE-INSPIRING US ditulis oleh seorang ibu muda dengan beragam prestasi nasional maupun internasional, yang membuktikan bahwa saat single, menikah, maupun setelah memiliki anak tidak akan menghentikan langkah dalam meraih cita. Dewi Nur Aisyah menuliskan dengan apik cara membuat kehidupan semakin bermakna, mulai dari memaksimalkan masa penantian, persiapan bertemu pasangan, membangun rumah tangga sejak titik awal, hingga tips agar cinta dapat berjalan selaras dengan cita.

Seperti kata awe-inspiring yang bermakna sesuatu yang mengagumkan, AWE-INSPIRING US menyiratkan bahwa bersama dengan keluarga, akan lebih banyak manfaat yang tercipta. Saat kata aku dan dia menjela KITA, akan lebih banyak kebaikan yang dikerja. Pernikahan hakikatnya adalah ajang untuk saling berlomba, melejitkan potensi bersama, dan mengangkasa berdua. Bergenggaman tangan menuju visi yang sama, bahu-membahu mengejar surge-Nya.

Inilah sebuah catatan perjalanan mengukir cinta, upaya untuk merenda asa, bersama menggapai pernikahan mulia…

Highlighted

Just because you don’t see the good in something doesn’t mean it’s not there. Allah has plan for everything. Something that seems bad at the moment can be the best thing that’s going to happen latter on. (Anonymous) – Hal. 33

Maka belajarlah untuk lebih banyak mengejar syukur, melihat dari sisi positif, dan berbagai snagka terhadap apa pun ketetapan-Nya. Yakinlah bahwa hanya skenario terbaik yang telah Allah siapkan untuk setiap hamba-hamba-Nya yang bertakwa…

“Oh Allah… Remind me that Your plans for me are better than my plan.” – Hal. 49

Karena kita meyakini, kita tidak akan pernah rugi saat melibatkan Allah dalam setiap pilihan kita, dalam setiap kejadian yang menerpa. Dan yakinlah, Allah akan sediakan pengganti yang jauh lebih baik lagi dari rasa ikhlas yang menemani. – Hal. 82

Alhamdulillah… Kembali Allah mengingatkan bahwa tidak ada yang tidak mungkin bagi-Nya. Jika memang sudah rezeki yang digariskan untuk sang hamba, ia tidak akan pernah lari ke mana. Begitupun sebaliknya, jika bukan rezeki kita, tidak mungkin kita akan mendapatkannya. Maka belajar bersyukur atas setiap karunia-Nya, saat Allah memberi apa yang kita pinta, pun bersabar saat Allah menangguhkan keinginan dan asa… – Hal. 217 

Tentang Penulis

Dewi Nur Aisyah adalah salah satu ahli epidemiologi dari Indonesia yang memiliki pengalaman internasional di bidang penelitian dan kesehatan masyarakat. Teman-teman bisa menyapa Mbak Dewi di:

Blog: www.dewinaisyah.wordpress.com/

Facebook: Dewi Nur Aisyah

Twitter: @dewinaisyah

Instagram: @dewi.n.aisyah



Share: