Allah Who Makes it Easy

www.pixabay.com


Bismillahirrahmanirrahiim

Tidak terasa sudah memasuki hari-hari terakhir di bulan November. Itu artinya obat yang harus aku konsumsi juga tinggal tersisa beberapa butir lagi. Rasanya senang sekali karena tidak lagi harus meminum obat ditiap pagi. Even I realized, yesterday I was furious and disappointed why Allah gave me this test. Sampai-sampai aku bilang gini, Ya Allah why me? Kenapa harus aku yang melalui ujian ini? Kenapa orang lain yang pola hidupnya lebih parah dari aku mereka bisa tetap sehat dan bisa makan apapun sepuasnya mereka tanpa harus merasa sakit? Allah maksudnya apa ngasih aku ujian begini? Aku capek harus sakit mulu, bolak-balik rumah sakit, minum obat setiap hari, menahan rasa sakit. Dan berbagai keluhan lainnya yang sesungguhnya tidak pantas aku utarakan karena sakit itu sendiri memang bersumber dari pola hidup aku yang tidak sehat.

Maka setelah rasa sakit itu datang mau tidak mau dimulai dari makanan, aku hanya bisa memakan sayur bening, buah, minum air putih. Tak ada lagi makan makanan berasa gurih, pedas, jeroan, lemak-lemak tertentu. Mau tidak mau akupun harus memaksakan diri untuk berolahraga minimal 15 menit setiap hari. Sampai akhirnya proses itu masih berlanjut hingga hari ini dan karena sudah menjadi kebiasaan, hal yang pada awalnya terasa berat kini menjadi ringan bagiku. Ditambah dulunya aku yang malas sekali untuk berolahraga, kini satu hari terlewat serasa seperti ada yang kurang :D. Kini efeknya pun terasa di badan. Meski berat badan masih stuck di angka itu, tapi baju-baju mulai terasa longgar dan badan menjadi lebih segar.

Pada hari Selasa, 12 November 2021 aku mendapatkan email dari Aida Azlin, seperti biasa #AATuesdayLoveLetters dengan judul In A Difficulty? Find Your Ease. Dalam tulisannya itu Aida bilang bahwa saat ia menemukan kesulitan, her mindset switch from “struggle-stricken” to “solution-driven”. Ditambah dalil Q.S Al-Insyirah 5-6, “Sungguh setiap kesulitan bersama kemudahan, sungguh bersama kesulitan ada kemudahan.” Kemudian ada satu kalimatnya yang membuat aku kembali merenung,

But the ease is a mystery and so it is our job to find it.

And then, I try to find the ease from my test. Sekilas memang kayak Allah is unfair for my life. Tapi dibalik rasa sakit yang aku derita, selain sebagai penggugur dosa memang betul ada kemudahan di sana yang aku sendiri baru bisa menyadarinya setelah akan selesai menjalani pengobatan. Kemudahan-kemudan itu diantaranya:

  1. When I was sick, my father always accompanied me to visit the doctor. Even he was not full time, but he always was there when I needed something. Hal ini yang bikin aku pengen nangis. Padahal pas aku masih harus bolak-balik rumah sakit bulan kemarin, dagangan kedua orang tuaku sedang merosot. Tapi demi anak mereka rela berkorban.
  2. My mother pays me more attention. Sosoknya yang biasanya cuek dan dingin berubah total menjadi penuh perhatian. Until this day, she always cooks the healthy food for me. Padahal biasanya she rarely cooks anything. She always texts me or calls me, asks me about my condition. And one day, she forces herself to go to my dormitory for ensuring that I’m ok. It’s amazing for me. And I’m grateful for it. Thanks Allah!
  3. Aku yang dulunya pengen diet dan tidak pernah kesampaian karena selalu saja gagal dengan makanan, pada akhirnya kini mau tidak mau aku harus menjalaninya. Begitupun dengan olahraga yang dulu jarang banget dilakukan akhirnya kini mau tidak mau harus dilakukan agar membantu proses penyembuhan. Mungkin dengan cara ini Allah memberikan kemudahan bagi aku untuk menjalani proses diet. Alhamdulillah kini sudah terasa manfaatnya meski pada awalnya terasa berat saat dilakukan. Kadang aku berfikir apa jangan-jangan rasa sakit ini Allah kasih ke aku sebagai teguran bahwa sudah seharusnya aku diet dan menyanyangi tubuh aku sendiri?

Such as Aida said that our job is to find the ease, exactly it’s really true. I have realized when I almost pass this condition. Diawal boro-boro. Yang ada semuanya kayak udah gelap, kayak Allah itu jahat banget sama aku. Memang benar, kita akan menyadari bahwa kemudahan-kemudahan itu selalu ada di setiap perjalanan yang kita anggap sulit, saat kita akan berakhir diujung perjalanan itu atau setelah kita melalui perjalanan itu sendiri.

Mungkin perlu diimani lagi Q.S Al-Insyirah ayat 5-6. Meski sering dibaca dan saat dilihat terjemahnya terbilang mudah ternyata saat dijalani tak semudah yang diucapkan.

Allah, please forgive me! For the bad prejudices that I did yesterday.

Semoga kita selalu segera menyadari bahwa dari setiap perjalanan sulit yang datang akan selalu ada kemudahan yang mengiringinya tanpa harus menunggu perjalanan itu usai atau bahkan saat kita telah usai melewatinya. Sehingga kita terhindar dari sikap suudzan kepada Allah.

with love,

Share:

Yang Lalu Biarkan Berlalu

Photo by Brett Jordan from Pexels



Bismillahirrahmanirrahiim

Hari itu saat aku sedang berselancar di Instagram, aku mendapatkan sebuah informasi mengenai layanan konsultasi psikologi gratis yang diadakan oleh Klik.Klas @klik.klas bersama Rumah Amal Salman @rumahamalsalman dan Psikologi Bergerak @psikologibergerak yaitu Layanan Psikologi #TemaniTeman dan #TemaniNakes Batch 3. Ada beberapa syarat dan ketentuan yang harus diikuti. Diantaranya me-mention tiga teman di kolom komentar, share postingan di Ig story atau di grup masing-masing tapi aku memilih untuk men-share postingannya di Ig story. Berkomitmen mengikuti layanan psikologi sesuai jadwal yang telah disepakati. Setiap peserta hanya dapat berkonsultasi sekali dalam sepekan. Durasi konsultasi selama kurang lebih 60 menit. Meski hanya mendapatkan jatah satu kali konsul dengan durasi waktu 60 menit menurutku itu lebih dari cukup. Selain syarat dan ketentuan tersebut, setiap peserta yang ingin mengikuti layanan ini pun harus mengisi form di Google Form yang telah disediakan oleh panitia.

Instagram @klik.klas


Selasa, 16 November 2021 akhirnya hari itu tiba dan sesi konsultasi psikolog aku dilaksanakan tepat pukul 11.00 sampai 12.00. Melalui Google Meet aku log in 15 menit lebih awal sesuai peraturannya. Dan ternyata saat aku log in itu, psikolognya sudah stand by dan tidak perlu menunggu jam 11 pas. Psikolog aku, Marina Yollanda, langsung menyapaku, bertanya mengenai identitasku dan juga kabarku. Sesi konsultasipun berlangsung sampai pukul 12 tepat.

Hal yang aku konsultasikan adalah mengenai rasa ketakutan aku akan suatu hal yang belum pasti terjadi (overthinking) karena aku pernah mengalaminya di masa lalu. Fikiran-fikiran negatif ini sering muncul menjelang aku tidur yang pada akhirnya membuat aku susah tidur dan tidur aku pun tidak nyenyak. Dan hal ini benar-benar mengganggu jam tidur malamku.

Psikolog Marina bertanya padaku,

“Coba Ihat saya mau tanya, Ihat ini hidup di masa lalu, masa kini, atau masa depan?”

“Masa kini.” Jawabku.

“Nah karena Ihat hidup di masa kini, berarti harusnya Ihat harus fokus di masa kini. Masa lalu kan sudah berlalu, sedangkan masa depan belum tentu terjadi. Bagaimana dengan ketakutan akan suatu hal karena dulunya pernah kejadian? Kita akui saja bahwa hal itu pernah terjadi di masa lalu, bukan saat ini, dan belum tentu terjadi di masa depan.”

Aku pun terdiam mendengar penjelasan dari Psikologku. Otaku kembali mulai berfikir, jangan-jangan selama ini rasa ketakutan itu muncul karena aku belum mengakui bahwa hal itu “pernah” terjadi di masa lalu dan bukan saat ini ataupun masa nanti. Bisa saja selama ini aku hidup dalam bayang-bayang ketakutan masa lalu.

“Yang perlu Ihat ingat adalah, kita tidak bisa menghindari apa yang sudah menjadi ketentuan untuk kita.” Lanjut Psikolog Marina.

Jleb! Ucapan beliau ini sangat tepat sasaran.

“Kematian, kegagalan, keberhasilan, pertemuan, perpisahan. Semua ini adalah sesuatu hal yang pasti terjadi pada setiap orang.”

Aku beristighfar, memohon ampun kepada Allah. Ya Allah jadi selama ini iman aku sangat lemah sekali. Aku lupa bahwa ketakutan akan hal seperti ini sudah ada dalam Al-Qur’an.

“Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar. (yaitu) orang-orang yang ditimpa musibah mereka berkata “Inna lillahi wa inna ilaihi roji’un” (sesungguhnya kami milik Allah dan  kepada-Nyalah kamu kembali).” (Q.S Al-Baqarah 155-156)

“Setiap bencana yang menimpa di bumi dan yang menimpa dirimu sendiri, semuanya telah tertulis dalam Kitab (Lauhul Mahfudz) sebelum Kami mewujudkannya. Sungguh yang demikian itu mudah bagi Allah.” ( Q.S Al-Hadid 22)

 Aku bersyukur sekali bisa mendapatkan kesempatan untuk bisa berkonsutasi langsung dengan psikolog. Ternyata bercerita ke psikolog itu berbeda dengan bercerita ke teman. Mungkin kalau cerita ke teman justru aku malah mendapatkan sebuah judgment. Seperti “alah gitu aja difikirin. Gak usah overthinking kali. Makanya jangan hidup di masa lalu.” Meski sebenarnya urgensinya sama aja yaitu mengingatkan agar kita tidak berlarut-larut dalam masa lalu, tapi cara penyampaiannya sangat berbeda. Dengan psikolog aku bisa bercerita bebas tanpa merasa takut dihakimi. Hal-hal yang selama ini selalu aku sembunyikan perlahan terkuak di waktu yang hanya berdurasi 60 menit ini. Bebanku perlahan berkurang dan aku mulai mencari cara sendiri untuk menenangkan fikiranku dikala fikiran-fikiran negatif muncul.

  1. Mulai saat ini saat fikiran-fikiran buruk itu menghampiri aku langsung beristighfar. Karena fikiran-fikiran buruk itu bisa saja datang dari bisikan syetan membuat kita tidak yakin atas takdir Allah.
  2. Mengakui hal-hal yang tidak menyenangkan yang terjadi di masa lalu : “ya sudah, sudah terjadi di masa lalu bukan di masa kini apalagi di masa depan.” Yang telah lalu biarlah berlalu. Life must go on. Karena mau tidak mau hidup akan terus membawa kita berjalan bukan berdiam diri.
  3. Kalaupun harus gagal lagi, tidak apa-apa. Tidak ada yang salah, hanya perlu dicoba lagi. Tetap optimis. Perkara gagal dan berhasil bukan jangkauan kita. Tugas kita hanya berusaha/berikhtiar, berdo’a, dan bertawakal.
  4. Meyakini sepenuhnya bahwa apa yang terjadi sudah dituliskan oleh Allah SWT. Apa yang harus terjadi dalam kehidupan kita sudah menjadi ketentuan kita dan berhenti berandai-andai. Karena berandai-andai termasuk orang munafik. Lihat kisahnya dalam Al-Qur’an surat Ali-Imran ayat 166-168.

“…Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami melakukan kesalahan. Ya Tuhan kami, janganlah Engaku bebani kami dengan beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tidak sanggup kami memikulnya. Maafkanlah kami, ampunilah kami, dan rahmatilah kami. Engkaulah pelindung kami, maka tolonglah kami menghadapi orang-orang kafir.” (Q.S Al-Baqarah: 286)

as a self reminder,



Share:

Alergi? Lebai!

Photo by cottonbro from Pexels


Bismillahirrahmanirrahiim

Sore itu sebuah perbincangan pun dimulai dengan membahas kucing, kemudian aku bilang bahwa aku tidak bisa berlama-lama bermain dengan kucing atau berada satu ruangan dengan kucing lantaran aku alergi bulu kucing. And then my friend said,

“Alergi kucing? Lebai.”

“Eh bener waktu di rumah temen waktu itu langsung pilek. Bersin-bersin. Mata merah.” Kataku ngasih penjelasan tapi yang bersangkutan terlihat bodo amat.

Kemudian temanku yang lain bilang dengan suara pelan namun masih bisa didengar jelas,

“Cewek kamu alergi kucing? Lemah.”

Aku hanya diam sambil mengunyah makananku. Ngeladenin omongan orang yang seperti itu memang tidak akan ada selesai-selesainya. Rasanya nyesek sebenarnya dikatain begitu. Toh aku juga gak mau punya alergi begitu dan itupun bukan pilihan aku.

Sebenarnya dari kecil begitu. Setiap ada kucing masuk rumah atau aku main sama kucing lama, gak cuci tangan, cepet untuk membuat aku bersin-bersin dan pilek. Bahkan pada saat main ke rumah teman sewaktu ngampus dulu, mataku langsung memerah dan bersin-bersin karena di rumahnya banyak banget kucing. Padahal kucingnya bersih. Dia sendiri yang rajin rawat kucing-kucingnya. Sampai yang pas ke dua kalinya main ke sana aku minta buat ngeluarin kucingnya jangan masuk ke kamarnya karena takut bersin-bersin lagi. Alhasil meski itu kucing udah dikeluarin dari kamarnya tetep aja masih bikin mata aku merah-merah dan bersin-bersin. Karena udah gak tahan aku langsung izin pamit pulang padahal tugas kuliah saat itu belum selesai dikerjakan.

Terakhir ketika kemarin WFH, ada kucing tetangga yang lucu menurutku, warnanya bulunya kuning kecoklatan, dan bulunya lebat. Si kucing sering banget mampir ke rumah membuat aku selalu mengelus-ngelus bulunya. Tanpa sadar saat itu aku langsung ngucek mata karena gatal dan akhirnya mataku merah dan aku kembali bersin-bersin. Setelah dari kejadian-kejadian itu meski aku ingin sekali mengelus bulu kucing; selalu aku tahan keinginan itu.

Jadi gimana? Masih mau ngatain yang alergi bulu kucing itu lebai? Lemah? Dari hal ini aku belajar bahwa kita jangan pernah menyepelekan suatu urusan orang lain. Misal karena pusing dikit, ah gitu doang pusing, atau seperti kasusku barusan. Karena kan kita tidak mengalaminya, ocoba kalau kita sendiri yang ngalaminnya masih mau disepelekan orang kayak gitu? Yang punya riwayat alergi bulu kucing pasti tahu gimana rasanya ketika alergi itu kambuh. Nyiksa sebenarnya. Mata gatelnya ampun, belum lagi hidung juga, meler, bersin-bersin. Aku juga bisa berhenti si alerginya kalau udah 4-5 jam jauh dari kucing atau berada di ruangan yang sama sekali tidak ada kucingnya.

“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir maka hendaklah ia berkata yang baik atau diam.” (H.R Bukhari dan Muslim)

as a for reminder,



Share: