Ibu: Jangan Pernah Remehkan Perjuangannya!

Photo by Liv Bruce on Unsplash

Enam bulan tinggal di Pesantren sempat membuat saya kehilangan beberapa informasi apalagi informasi dari TV. Maklum di Pesantren kan tidak ada TV. Ya meskipun ada HP tapi tetap saja bagi saya kehadiran TV tidak bisa tergantikan. Beda saja sensasinya gitu, sekalipun menonton acara TV di HP tetap saja rasanya tak sama.

Saat hari libur tiba saya langsung mencoba untuk menonton TV. Memilih channel mana yang asik dijadikan bahan tontonan. Jemari saya begitu saja terhenti saat melihat iklan susu Dancow dengan judul “Bunda Tidak Sempurna, Tapi Cinta #BundaSelaluAda.” Begitu selesai menonton iklan itu entah mengapa hati saya begitu terkoyak.

Saya tahu, Ibu saya bukan orang hebat bahkan beliau banyak sekali kekurangannya. Dulu meski tidak pernah diucapkan dan hanya dipendam sendiri, saya sering membandingkan beliau dengan Ibu teman saya lain. Saya melihat Ibu teman saya lebih fashionable saat mengikuti rapat sehingga mendapatkan pujian dari teman-teman saya. Sementara Ibu saya? Ibu saya hanya berpakaian rapi dan sopan seperti biasa tanpa riasan make up di wajahnya. Kata Ibu pakai bedak saja sudah cukup. Jujur saja saat itu saya iri dengan pujian yang diberikan teman-teman saya kepada Ibu teman saya itu.

Kemudian saat teman saya bilang bahwa Ibunya yang mengetikan modul pembelajaran itu tidak jadi di-fotocopy, saya cuma bisa tersenyum masam dan juga menggerutu dalam hati, iyalah bisa mengetik ulang modul itu sampai rapih orang profesinya juga guru. Lha ibu saya bisa apa?

Lalu saat saya melihat Ibu teman saya yang lain yang bisa menyupir mobil sendiri, berdandan cantik, memiliki jabatan, famous, kembali lagi dalam hati saya berkata, Ibu saya naik sepeda aja masih belajar. Yah enak ya punya Ibu pejabat terus aktif di sosial media gitu. Sweet deh kayaknya. Apa-apa dipost di medsos sama anak-anaknya terus bikin caption yang romantis. Lha Ibu saya? Buat ngetik chat sama sms aja butuh waktu lama. Terus kurang ngerti sama bahasa gaul yang kekinian, kuper lagi.

Dan saya selalu cemburu jika ada Ibu teman saya yang lain yang bisa dekat dengan anaknya, bahkan bisa jadi teman curhat bagi anaknya. Lha saya? Ibu saya pendiam. Tidak banyak bicara, tidak perhatian, tidak penah tahu caranya berdandan apalagi mendandani anaknya. Ibu saya tidak pernah tahu bagaimana anaknya jatuh dan juga patah hati.

Bahkan dengan kurang ajarnya saya, saya sempat mengkhayal kalau saja Ibu saya seperti Ibu si A mungkin tidak akan begini, kalau saja Ibu saya seperti Ibu si B mungkin teman-teman saya akan memujinya, dan sebagainya.

Saya tahu Allah Maha Mendengar. Hingga akhirnya Allah menuntun saya untuk melihat dengan mata saya sendiri bahwa apa yang selama ini saya sesalkan adalah sesutau hal yang salah.

Jika dulu saya menginginkan sosok Ibu yang memiliki jabatan, famous, aktif di medsos, photo bareng sama anaknya dengan caption yang begitu menyentuh. Namun pada faktanya apa? Saya justru menemukan bahwa Ibu tersebut egois dan saat anaknya sakit justru malah minta orang lain untuk mengurusinya. Bahkan tak jarang rela meninggalkan anak dari pada meninggalkan pekerjaannya. Meski saya tahu tidak semuanya begitu namun yang saya temukan saat ini adalah demikian adanya.

Saya langsung teringat dengan Ibu di rumah. Meski dengan tampilan yang sederhana, tidak berpendidikan tinggi, gaptek, namun saat anaknya sakit beliau rela meninggalkan apa saja demi kesembuhan sang anak. Saat kaki saya terluka gegara kena knalpot motor dan sulit untuk berjalan maka saat itu Ibu saya meninggalkan pekerjaannya dan mengantarkan saya ke sekolah dengan cara saya digendong olehnya. Jika mengingat moment ini saya tak kuasa untuk menahan air mata saya.

Kemudian pengorbanan Ibu saya yang lainnya adalah saat saya sakit tifus. Mengantarkan saya ke dokter selepas sholat shubuh, membuatkan bubur untuk saya, meski pada saat itu Ibu saya tidak banyak bicara. Namun saya melihat kekhawatirannya dengan jelas saat saya dinyatakan sakit tifus. Selama perjalanan pulang dari dokter Ibu saya yang biasanya diam justru mengomeli saya habis-habisan dan saya melihat dengan jelas butiran air matanya sudah menumpuk di pelupuk matanya.

Meski Ibu saya tidak berpendidikan tinggi tapi beliau pernah menasehati saya bahwa membawa ilmu kemana-mana tidak akan terasa berat, beda lagi saat kita membawa uang kemana-mana pasti terasa berat. Hal inilah yang memotivasi saya untuk terus mencari ilmu.

Meski Ibu saya tidak bisa mengirim chat atau sms dengan cepat namun soal pulsa beliau tidak pernah hitungan. Daripada lama mending telfon aja langsung. Nah saya baru mensyukuri hal ini adalah ketika saya mendapati santri saya yang kesulitan untuk menghubungi kedua orang tuanya lantaran kedua orang tuanya tiap kali diminta telfon balik selalu beralasan tidak memiliki pulsa. Sampai santri saya itu menangis lalu berkata sambil terisak kepada saya,

“Padahal tinggal beli pulsa. Enggak mahal kok. Masa tiap kali diminta telfon alasannya selalu sama tidak ada pulsa.”

Saat itu saya hanya terdiam dan teringat Ibu di rumah.

Dan masih banyak hal lain yang dulu selalu saya bandingkan beliau dengan yang lainnya. Tapi kini tidak. Setelah perjuangannya membesarkan kami semua dengan segala keterbatasan yang dimilikinya saya rasa, saya tidak akan pernah membayar perjuangannya itu.

Ya Allah terima kasih karena telah menyadarkan saya bahwa Ibu saya adalah sosok yang luar biasa ditengah segala kekurangannya.

Kelak jika nanti saya menjadi seorang Ibu, saya ingin menjadi seorang Ibu yang kuat seperti Ibu saya, yang lebih menyayangi anaknya ketimbang urusannya sendiri.

Happy Mother’s day everyone.

Selagi masih ada Ibu di samping kita jangan pernah remehkan perjuangannya.

Dengan perasaan yang campur aduk,

Ihat


ps: tulisan ini merupakan tulisan 3 tahun yang lalu yang baru saya temukan lagi dan saya repost kembali :)

0 Comments